Jakarta, SNP - Banjir
Bandung yang terjadi pada tanggal 24 hingga 31 Oktober 2016 beberapa waktu lalu
bukanlah banjir yang biasa kita sebut sebagai banjir cileuncang atau banjir
yang berupa genangan air di suatu tempat karena terhambatnya pembuangan atau
aliran tersebut.
Banjir yang terjadi beberapa hari lalu adalah banjir yang
merubah beberapa jalanan di Kota Bandung menjadi sungai sehingga menimbulkan
kerugian berupa jiwa, harta dan benda.
Melihal hal ini LBH Bandung menyatakan keprihatinan atas
peristiwa ini dan menyatakan simpati yang sebesar-besarnya atas korban dan
warga Kota Bandung secara keseluruhan.
Dalam catatan beberapa media tercatat bahwa titik lokasi
banjir terparah terjadi di daerah Pasteur, Cikadut, Geger Kalong, Cikadung, dan
Antapani.
Banjir kali ini ternyata bukanlah peristiwa yang pertama
kalinya terjadi di Kota Bandung. Tercatat di tahun 2009 banjir terjadi di
Kecamatan Arcamanik, Cibeunying Kidul, Cibiru, Mandalajati, Cidadap, Bandung
Wetan, Astanaanyar, Bojongloa Kaler, dan Ujung berung bahkan di aliran sungai
Cikapundung. Bencana banjir tersebut telah mengakibatkan 292 rumah rusak
ringan, 229 rumah rusak sedang, dan 59 rumah rusak berat.
Di tahun 2010 banjir terjadi Kecamatan Panyileukan,
Arcamanik. Sukasari, Ujung berung dan mengakibatkan kerusakan pada 2.495 rumah.
Di Tahun 2011 banjir terjadi di Kel. Cipadung ( Terendam 33
rumah )dan Kel. Cipadung Kidul Kecamatan Panyileukan ( 836 rumah ). Di tahun
yang sama Banjir juga terjadi di Kel. Maleer Kecamatan Batununggal Korban
sebanyak 7 RW (23 Rt), 510 unit rumah, 700 KK (2011).
Bahkan di Pagarsih banjir telah terjadi beberapa kali di
tahun 2000, 2003, 2005, 2014. Oleh karena itu banjir besar yang terjadi di
beberapa titik di Kota Bandung pada tanggal 24 Oktober 2016 bukanlah bencana
alam biasa. Banjir yang terjadi adalah bencana lingkungan yang disebabkan oleh
salah urus pembangunan kota yang pola pembangunan tata ruangnya tidak
berdasarkan pada daya tampung ruang hidup itu sendiri.
Data RPJMD Kota Bandung 2013-2018, kawasan yang sering
terjadi banjir adalah daerah-daerah yang dilewati oleh 5 aliran sungai yaitu
aliran sungai Cipaku, Cikapundung, Cibeunying, Cipamokolan, dan Cipadung.
Sungai Citepus yang menjadi sumber banjir kali ini tidak termasuk ke dalam
rancangan Pemerintah Kota. Padahal sungai citepus adalah sungai yang
masuk kategori pencemaran berat selain sungai Cikiley, Ciparungpung,
Cikapundung Kolot, Cikapundung Hilir, dan Cidurian.
Berdasarkan data RPJMD Kota Bandung 2013-2018 daerah Banjir
di beberapa titik di atas termasuk ke dalam rencana pembangunan kawasan
pemukiman padat. Oleh karenanya pola dalam mengatasi banjir tidak bisa hanya
menekankan pada pembangunan trotoar, drainase ataupun pengerukan daerah
sempadan sungai.
Di sisi lain pembangunan infrastruktur beresiko seperti
kawasan terbangun di wilayah Kawasan Bandung Utara masih marak terjadi dan
pengawasan perizinan di daerah resapan air tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Data lain menurut Walhi Jawa Barat Kawasan Bandung utara
seluas 3700 Ha, 80% adalah bangunan beton di ketinggian 750 Mdpl dan
Kawasan Strategis Khusus Lindung hanya ada di Babakan siliwangi dan
Cikapundung. Masih menurut data Walhi Jawa Barat, ruang terbuka hijau (RTH) pun
hanya ada dan tercatat di Bandara Husein dan Pemakaman.
Menurut Wahi Jabar titik banjir yang menjadi polemik hari
ini adalah daerah yang tidak termasuk daerah rawan Banjir di Rencana Tata Ruang
dan Tata Wilayah Kota Bandung.
Oleh karena hal hal di atas maka warga harus menuntut kepada
Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk Mengevaluasi
rencana detail tata ruang skala besar secara menyeluruh.
Penegakan aturan
peruntukan lahan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan hidup, dan Melakukan
pemulihan korban dan ganti rugi baik materill maupun immateril yang disebabkan
bencana lingkungan secara keseluruhan. (*)
No comments:
Post a Comment