Undang-undang tentang penodaan agama
kembali dibicarakan setalah mencuat kasus tuduhan terhadap Gubernur DKI
Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menistakan agama
melalui surat Al Maidah. Tetapi Setara Institute menyatakan pasal ini
merupakan pasal karet dan bersifat diskriminatif serta tak sesuai dengan
prinsip HAM.
Dilansir BBC, Ismail Hasani dari Setara mengatakan aturan tentang penodaan agama dianggap multitafsir dan juga cenderung diskriminatif.
"Dasarnya itu diskriminatif, tidak boleh ada produk hukum di republik ini bertentangan dengan jaminan yang ada dalam konstitusi kita. Bagaimana dia tidak diskriminatif tidak memberikan kepastian hukum. Orang menafsirkan kalau berbeda dengan MUI itu bisa dipenjara, sementara kalau penafsiran itu merupakan ekspresi verbal dari pemikiran kita dan itu sama saja mengadili pikiran kita itu kan tidak mungkin," kata Ismail.
UU penyalahgunaan dan atau/penodaan agama ini diterbitkan oleh pemerintah untuk menangani aliran-aliran kebatinan yang muncul pada masa itu.
Kasus meningkat
Namun, sangat sedikit digunakan, menurut catatan Ismail, sejak diterbitkan sampai 1998 hanya ada 10 kasus penodaan agama, salah satunya adalah kasus dugaan pencemaran agama yang menyebabkan pemimpin redaksi Tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto dihukum penjara selama lima tahun pada 1990.
Namun, setelah reformasi jumlah kasus yang menggunakan aturan penodaan agama meningkat menjadi sekitar 50 kasus, dengan menguatnya politisasi agama.
"Ini (menunjukkan) penengakan hukum yang serampangan padahal isunya sangat sensitif.
"Mengapa jumlahnya meningkat? Karena adanya penguatan politik identitas dan desentralisasi politik di daerah-daerah, pilkada langsung, ini mendorong orang - di tengah keterbatasan kreativitas politik- dia melakukan cara paling efektif melakukan isu SARA, kasus penodaan agama juga berjalan dengan meningkatkan politik identitas," jelas dia.
Setara bersama dengan organisasi lain dan individu pernah mengajukan uji materi Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, namun ditolak Mahkamah Konsitusi. Pada 2013, UU yang sama pernah diajukan kembali ke MK, tetapi ditolak.
Aturan tentang penodaan agama ini kembali dibicarakan setelah muncul kasus tuduhan penghinaan terhadap surat Al Maidah oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ketika berpidato di Kepulauan Seribu.
Ahok kemudian dilaporkan oleh sejumlah organisasi antara lain FPI, MUI Sumatera Selatan, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah- atas nama Forum Anti Penistaan Agama (FUFA) ke Mabes Polri dan Polda Metro Jaya.
Pada 10 Oktober lalu, Ahok kemudian meminta maaf. Esok harinya MUI menyatakan Ahok telah menistakan AlQuran.
Meski demikian para pelapornya mendesak kepolisian agar memeriksa Ahok dan melakukan demonstrasi di berbagai daerah. Mereka menganggap Ahok melanggar pasal 156a KUHP dan UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Ismail dari Setara mengatakan selama ini tekanan massa seringkali dijadikan pertimbangan dalam penyidikan kasus dugaan penodaan agama, dibandingkan unsur pidananya. Tetapi menurut dia, polisi tetap dapat melakukan penyidikan yang objektif dan harus berani mengatakan jika memang tak ada unsur pidana dalam penyidikan yang dilakukan.
Praktisi hukum pidana Albert Aries mengatakan dalam menangani kasus dugaan penodaan agama kepolisian harus berpegang pada mekanisme yang diatur khususnya yaitu Penetapan Presiden No 1 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan agama dan atau penodaan agama yang masih berlaku sebagai hukum positif.
"Pemindaan atau delik pasal 156a itu belum dapat dipakai dulu sebelum melewati mekanisme yang diatur dalam Penpres No 1 tahun 1965, peringatan dulu, kemudian jika setelah diperingatkan tetapi tindakan tersebut diulang kembali, " jelas Albert.
Albert mengatakan dalam kasus Ahok, harus dipertimbangkan juga permintaan maaf sudah disampaikan sebelum MUI menegur gubernur DKI Jakarta nonaktif itu, dan apakah tindakan itu diulangi kembali.
"Ahok sudah meminta maaf pada 10 Oktober dan 11 Oktober MUI menegurnya, maka sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang ada dalam Penpres itu, menunjukkan delik pidana ini menjadi tidak sempurna kecuali setelah diperingatkan peringatan diabaikan", kata Albert.
Selain itu, dalam hukum pidana harus dilihat apakah ada niatan terlapor untuk melakukan penghinaan terhadap agama, dengan mengundang ahli hukum, ahli bahasa dan juga agama.(*)
No comments:
Post a Comment