Media Suara Nasional-Perjalanan bangsa Indonesia untuk menjadi Negara demokrasi sudah dilalui beberapa era dan generasi, mulai dari orde lama, orde baru, sampai saat ini masuk dalam era reformasi. Pada era reformasi ini, sudah memasuki dekade kedua sejak tahun 1998 dengan ditandai peristiwa diturunkannya Presiden Soeharto saat itu. Begitu juga dengan masalah pemimpin negeri ini. Sejarah mencatat bahwa sejak Indonesia merdeka sampai saat ini sudah berganti sebanyak 7 kali pergantian Presiden. Dari masing-masing Presiden yang pernah memimpin negeri ini, memiliki gaya kepemimpinan yang beragam. Tidaklah mudah mencari jati diri bangsa Indonesia dalam mencapai Negara demokrasi yang sesuai dengan karakter dan kebudayaan kita. Artinya bahwa bangsa kita dalam perjalanan menuju Negara demokrasi yang ideal telah dilalui berbagai rintangan dan problematika dalam sistem pemerintahan.
Berganti pemimpin, berganti juga corak sistem pemerintahannya. Konsekuensi dari berubahnya sistem Pemerintahan adalah berubahnya fungsi dan hubungan lembaga-lembaga tinggi negara, khususnya antara Eksekutif dan Legislatif. Pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislative atau yang lebih dikenal dengan teori trias politica, bagi beberapa pihak cenderung menimbulkan polarisasi dan instabilitas politik, karenanya tidak cocok dipraktekan dinegara-negara yang baru memasuki transisi demokrasi, salah satunya di Indonesia.
Indonesia akan menjalani babak baru praktik demokrasi dengan penyelenggaraan Pemilu serentak 2019, yang terdiri dari pemilihan presiden dan wakil presiden digabung dengan pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam sistem presidensial seperti yang dianut dalam sistem pemerintahan kita, belumlah pas jika dilaksanakan sampai Negara kita menemukan konsep demokrasi yang pas sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. Idealnya sistem presidensial harus dibarengi dengan meminimalisir jumlah partai politik, karena sistem multipartai dapat menimbulkan kerentanan hubungan antara eksekutif-legislatif.
Munculnya puluhan partai pada saat pemilu justru akan menimbulkan permasalahan baru. Pertama, hal tersebut membuka peluang terjadinya transaksi politik akibat fragmentasi peta politik yang secara ideologis sebenarnya tidak saling berseberangan. Salah satunya, dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Ayat (4) Undang-Uundang Nomor 23 Tahun 2003 menegaskan bahwa pilpres dilaksanakan pasca pileg dan partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan atau Wakil Presiden adalah partai yang telah memenuhi persyaratan ambang batas minimal pada pencalonan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam pilpres (presidential threshold). Secara politis, terfragmetasinya peta politik partai kedalam banyak sub tidak akan memunculkan satu partai dominan atau menguasai setidak 50%+1 suara pada pileg, akibatnya koalisi partai politik terbentuk hanya 3 bulan sebelum pelaksanaan pilpres. Hasilnya adalah koalisi yang pragmatis tersebut.
Kedua, koalisi pragmatis tersebut pada akhirnya hanya akan terus menekan Presiden terpilih melalui infiltrasi kepentingan partai pada berbagai kebijakan yang hendak diambil oleh Presiden. Kebijakan yang paling awal berpeluang untuk diintervensi adalah pembentukan kabinet yang merupakan ranah prerogative Presiden. Frasa dalam Pasal 17 Ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” menjadi landasan konstitusional bagi Presiden sebagai kepala pemerintahan (head of government) untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri secara mandiri dan jauh dari intervensi dari pihak manapun, khususnya partai politik pendukung pemerintah. Namun, kondisi yang terjadi menggambarkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih secara langsung melalui partai politik sebagai fasilitatornya kerap mengalami intervensi politik dalam penyusunan anggota kabinet. Dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla periode 2004-2009, semasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono periode 2009-2014, dan terakhir pada masa Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Akibatnya kinerja eksekutif menjadi kurang optimal dan Presiden berada dalam kondisi yang tersandera oleh partai pendukungnya sendiri.
Dan ketiga, menyangkut pada hubungan antara Presiden dan DPR. Merujuk kepada pola sistem presidensial sebagaimana yang direkonseptualisasi oleh James Madison bahwa terdapat kewenangan tumpang tindih antara cabang eksekutif dan legislatif khususnya, hal tersebut sekaligus memberikan ruang bagi berjalannya mekanisme checks and balances. Keberadaan mekanisme tersebut secara obyektif dapat menghasilkan suatu pemerintahan yang sehat dimana Presiden diawasi oleh DPR begitu pula sebaliknya sehingga potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan dapat ditekan. Tetapi kondisi yang ada, fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap pemerintah melalui penggunaan hak interpelasi, hak angket, maupun hak menyatakan pendapat kerap dijadikan sebagai ajang adu posisi tawar (bargaining position). Akibatnya, pemerintah kembali tersandera dan terhambat untuk menerapkan sebuah kebijakan, sedangkan DPR menjadi kurang produktif dalam menghasilkan undang-undang karena terkonsentrasi untuk sekedar menyudutkan posisi pemerintah.[1]
Memang pada saat ini bahwa Indonesia dihadapkan pada tantangan internasional yang suka tidak suka dan mau tidak mau harus dihadapi. Hal ini seperti yang disampaikan oleh peneliti senior LIPI, Ikrar Nusa Bakti, bahwa tantangan internasional pada tahun 2014-2050 adalah tantangan mengenai persoalan keamanan energi, persoalan kebutuhan pangan dunia, persoalan lingkungan hidup, persoalan SDA dan SDM.[2] Selain itu, juga disampaikan bahwa Indonesia akan menjadi Negara maju yang mampu bersaing dengan Amerika dan China, atau Indonesia akan menjadi Negara yang gagal/hancur ditentukan dengan 3 pemilu, yaitu pemilu 2014, pemilu 2019, dan pemilu 2024. Hal ini dikarenakan pada periode tersebut sudah memasuki tantangan internasional. Artinya bahwa Indonesia harus segera berbenah dan menemukan sistem demokrasi yang sesuai dengan karakteristik Negara Republik Indonesia.
Memang pemilu masih dianggap belum bisa menghasilkan pemerintahan yang efektif. Misalnya adanya gap dalam pemerintahan, seperti pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Misalnya masih ada keluhan Gubernur yang susah mengumpulkan Bupati dan Walikota, yang dikarenakan perbedaan asal partai yang mengusung, dan juga akibat perbedaan kekuatan peta politik di masing-masing tingkatan pemerintahan.
Dari berbagai persoalan diatas, permasalahan akan mengkerucut untuk menjawab pertanyaan apakah pemilu serentak 2019 merupakan solusi yang pas dalam sistem pemilihan umum di Indonesia?
INDONESIA MENUJU PEMILU SERENTAK 2019
Pemilihan Umum (Pemilu) menurut beberapa kalangan merupakan sebuah agenda rutinitas yang menghabiskan banyak anggaran. Anggapan tersebut berdasarkan pada pelaksanaan pemilu yang sudah pernah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia belum mendapatkan hasil yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Bahkan masyarakat berasumsi bahwa pelaksaan pemilu dari tahun 1955 sampai 2014 ini belum bisa menghasilkan pemerintahan yang sesuai diamanatkan dalam UUD 1945 yaitu mengenai tujuan Negara. Tujuan Negara yang dimaksud adalah mencapai kesejahteraan masyakat.
Pelaksanaan pemilu sebagai simbol pesta demokrasi terus menyisakan berbagai permasalahan yang hadir setelah dilaksanakan, salah satunya adalah permasalahan sengketa hasil pemilu, baik itu pemilu legislative maupun pemilu kepala daerah. Dari masalah ini akhirnya menimbulkan adanya like and dislike diantara pendukung maupun masyarakat, yang kemudian menciptakan ketidakharmonisan ditengah-tengah masyarakat. Selain itu, pemilu dianggap sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana korupsi, karena pemilu di Negara kita masih sarat dengan adanya money politic. Memang berbagai persepsi tersebut merupakan opini yang muncul di masyarakat. Padahal secara kelembagaan Negara permasalahan pemilu yaitu mengenai cost and benefit. Maksudnya adalah bagaimana pemerintah bisa melaksanakan pemilu dengan anggaran yang sedikit tapi mampu menghasilkan output pemilu yang bagus.
Banyak pakar politik menilai bahwa ada banyak solusi untuk menghemat anggaran Negara dalam pelaksanaan pemilu, salah satunya adalah pemilu serentak yang diwacanakan dilaksanakan pada tahun 2019. Pemilu Serentak 2019 adalah penyelenggaraan pemilu legislatif dengan eksekutif yang dilakukan secara bersamaan. Keputusan ini dikeluarkan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 14/PUU-11/2013 Tentang Pemilihan Umum Serentak. Keputusan Hukum ini dihasilkan dari proses pengabulan usulan menguji materi Undang-Undang No. 42 Tahum 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia Dr. Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak.[3] Pada putusan tersebut, MK berdasarkan pertimbangan, bahwa penyelenggaraan Pemilu dua kali, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang diselenggarakan secara terpisah bertentangan dengan UUD 1945, dimana pasal 22E menyebutkan bahwa pemilu secara berkala, 5 tahun sekali dilakukan untuk memilih anggota DPR, DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu harapan untuk melaksanakan pilkada serentak adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu. Sampai saat ini, bisa dikatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilu berada pada kisaran 30-60 %. Ini yang sebenarnya menjadi “PR” berat bagi pemerintah.
Salah satu perwujudan keterlibatan rakyat dalam proses politik adalah pemilihan umum. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut menentukan figure dan arah kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu. Ide demokrasi yang menyebutkan bahwa dasar penyelenggaraan negara adalah kehendak rakyat merupakan dasar bagi penyelenggaraan pemilu. Maka ketika demokrasi mendapatkan perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara.
Pemilu memiliki fungsi utama dalam hal sirkulasi elit yang teratur dan berkesinambungan. Sebuah kepemimpinan yang lama tanpa dibatasi periode tertentu, dapat menjurus pada pada kepemimpinan yang korup dan sewenang – wenang. Banyak contoh dalam sejarah dunia yang memperlihatkan betapa kekuasaan yang absolut, tanpa pergantian elit yang teratur dan berkesinambungan, mengakibatkan daya kontrol melemah dan kekuasaan menjadi korup dan sewenang-wenang.
Tetapi pemilu yang teratur dan berkesinambungan saja tidak cukup untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Pemilu merupakan sarana legitimasi bagi sebuah kekuasaan. Setiap penguasa, betapapun otoriternya pasti membutuhkan dukungan rakyat secara formal untuk melegitimasi kekuasaannya. Maka pemilu sering kali dijadikan alat untuk pelegitimasian kekuasaan semata. Cara termudah yang dilakukan adalah mengatur sedemikian rupa teknis penyelenggaraan pemilu agar hasil dari pemilu memberi kemenangan mutlak bagi sang penguasa dan partai politiknya. Pemilu merupakan icon demokrasi yang dapat dengan mudah diselewengkan oleh penguasa otoriter untuk kepentingan melanggengkan kekuasaannya. Maka selain teratur dan berkesinambungan, masalah system dalam penyelenggaraan pemilu adalah hal penting yang harus diperhatikan.
Pemilu serentak pada tahun 2019 memang diprediksi memiliki kontradiktif dalam pelaksanaan. Namun, jika berbicara mengenai manfaat secara kelembagaan seperti yang dijelaskan diatas, yaitu dengan pelaksanaan pemilu serentak akan menghemat anggaran Negara, kita sebagai warga negara wajib optimis dalam pelaksanaannya nanti, karena seperti yang disampaikan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, ada empat hal penting yang menjadi perhatian dalam pilkada serentak.[4] Keempat hal tersebut yang Pertama adalah terkait administrasi. Meskipun administrasi tampak sepele, namun tantangan administrasi adalah hal yang paling disoroti. Bahkan KPU mencacat ada 12 permasalahan yang muncul dalam pilkada serentak yakni mulai dari penyerahan surat dukungan hingga tahapan penetapan calon. Temuan masalah administrasi seperti temuan dokumen palsu, dualisme kepengurusan partai politik, status kesehatan hingga status tersangka dari pasangan calon. Hal-hal seperti itu akan menyita perhatian dan tenaga KPU di tengah persiapan lain yang harus diselesaikan.
Tantangan Kedua adalah terkait polemik calon tunggal. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa calon tunggal tetap bisa mengikuti Pilkada serentak 2015 tak dapat diundur hingga 2017. Putusan MK juga membuka peluang untuk ditempuh jalur referendum bagi daerah yang memiliki calon tunggal. Apabila pilihan setuju lebih banyak maka pasangan calon ditetapkan menjadi kepala daerah. Sementara jika tidak setuju memperoleh suara terbanyak maka Pilkada akan ditunda sampai pemilihan berikutnya. Padahal tujuan Pilkada serentak itu adalah meningkatkan efisiensi politik elektoral.
Tantangan Ketiga adalah terkait pengawasan. Pilkada serentak yang akan digelar untuk pertama kalinya itu masih banyak kelemahan yang perlu diawasi. Pengawasan Pilkada tak hanya dilakukan instansi pemerintah namun juga masyarakat secara umum. Tujuannya agar kualitas pengawasan penyelenggaraan Pilkada dapat lebih terjamin serta meminimalisir kecurangan-kecurangan yang muncul pada pelaksanaan pemilu saat ini. Tantangan Keempat adalah tantangan konflik. Dalam tantangan ini memang lebih dikhusukan pada pelaksaanaan pilkada. Meskipun ada pandangan bahwa skala pemilu serentak ini lebih kecil dari pemilu nasional sehingga tak perlu dikhawatirkan. Namun konfigurasi dukungan di masyarakat dalam Pilkada sangat berbeda dan kadangkala tidak sebangun satu sama lain dengan dinamika pemilu politik nasional.
Walaupun selama perjalanan dalam mencari jati diri sebagai Negara demokrasi sudah dilewati bertahun-tahun dan berganti-ganti sistem, sebenarnya tantangan terberat dalam pelaksanaan pemilu adalah bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat. Saat ini masyarakat sudah antipati terhadap partai politik. Mau yang menang dan memimpin Negara ini berasal dari partai A, ataupun partai B, bahkan partai C, masyarakat menganggap semua partai politik sama saja, orientasinya hanyalah tentang kekuasaan. Yang dipikirkan oleh partai politik saat ini adalah berapa orang yang didudukkan di legislatif dan siapa yang akan diusung menjadi calon kepala daerah ataupun presiden.
Padahal partai politik memiliki empat peran dan fungsi, yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana kaderisasi, sebagai sarana sosialisasi politik, dan sebagai pengatur konflik. Mereka lupa bahwa memiliki empat peran dan fungsi tersebut. Sehingga dalam pelaksanaan pemilu maupun pilkada sangatlah gencar menggunakan money politic atau yang lebih dikenal di masyarakat yaitu NPWP (nomor piro,wani piro). Apabila partai politik melaksanakan empat peran tersebut, sebagai contoh dalam kaderisasi politik, belum ada partai politik yang memberdayakan anggotanya, misalnya yang memiliki basic pengusaha difasilitasi bagaimana dalam mengembangkan usahanya, yang memiliki basic peneliti/ akademik difasilitasi dalam pengembangan riset dan penelitan, begitu juga yang memiliki ketrampilan difasilitasi dalam mengembangkan kreatifitasnya. Jika semua partai seperti itu semua, masyarakat dengan sendiri akan tergerak masuk menjadi bagian dari partai politik tersebut dan dalam pelaksanaan pemilu maupun pilkada sudah tidak ada istilah NPWP (nomor piro,wani piro) lagi.
KETERWAKILAN PEREMPUAN MERUPAKAN TANTANGAN DALAM PEMILU
Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Bahkan dalam memasuki abad ke-21, keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam kancah dunia politik adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari lagi. Akses dan partisipasi politik perempuan di setiap tingkatan pada lembaga pembuat atau pengambil kebijakan adalah merupakan hak asasi bagi setiap perempuan yang paling mendasar.
Berdasarkan hak asasi tersebutlah, sesungguhnya sangat banyak alasan mengapa begitu pentingnya melibatkan perempuan dalam dunia politik. Baik itu perempuan sebagai pelaku yang terjun langsung dan menduduki posisi atau jabatan di partai politik, parlemen dan birokrasi atau hanya sekedar melibatkan kepentingan perempuan dalam ideologi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dijamin hak setiap warga negara dalam politik tanpa kecuali.
Kenyataan yang ada dalam berbagai hambatan sistemik maupun kultural jelas-jelas menghambat kemajuan peran perempuan untuk maju ke area publik, minimal untuk mewakili golongannya. Transisi demokrasi yang berlangsung di Indonesia saat ini, membangkitkan tuntutan yang lebih luas atas peningkatan kehidupan politik bagi setiap warga negara. Dalam kaitan ini terjadi tarik menarik dan proses negosiasi yang ketat antara ideologi politik dominan dengan aspirasi yang berkembang. Misalnya saja dalam menetapkan wakil-wakil rakyat di setiap partai politik, perempuan masih dianggap sebelah mata dan hanya sebatas pelengkap saja. Hal ini menandakan masih adanya hegemoni kaum laki-laki untuk tetap menguasai di parlemen. Dunia politik di Indonesia identik dengan dunia laki-laki. Hal ini terjadi karena politik dianggap suatu kegiatan kekuasaan yang dianggap kotor, penuh dengan intrik, sarat dengan kekerasan, dan tidak pantas dimasuki oleh kaum perempuan. Politik menjadi suatu kegiatan yang identik dengan kekuasaan yang bersifat negatif, kesewenangan, kekerasan, pengerahan massa dan kompetisi, dimana kondisi-kondisi itu tidak melekat dalam diri perempuan yang mengutamakan perdamaian.
Isu politik begitu penting untuk perempuan, tidak lain karena perempuan adalah bagian terbesar atau mayoritas di negeri ini, sedangkan hak-hak mereka sebagai warga negara yang sah belum mendapat perhatian selayaknya, disamping itu mereka terus menerus dipinggirkan didalam proses pembuatan keputusan. Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan terhadap permasalahan politik sangatlah diperlukan. Keterwakilan perempuan di lembaga politik formal sangatlah penting, hal ini dikarenakan sangat kecil peluang laki-laki yang bisa memperjuangkan hak perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa yang dirasakan oleh perempuan itu sendiri.
Di Indonesia, sejak diberlakukannya pasal 65 Undang-Undang Pemilu No.12 Tahun 2003 tentang kuota perempuan 30% pada pemilu merupakan angin segar bagi perempuan dalam dunia politik untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Namun tantangan dalam mewujudkan keterwakilan perempuan dalam dunia politik sangat sulit. Banyak kaum perempuan dalam keikutsertaannya dalam politik hanya sebatas nama namun tidak memiliki kewenangan yang penuh. Tantangan terberat adalah minat kaum perempuan dalam dunia politik sangat minim dan juga larangan dari suami atau keluarga sangat besar pengaruhya. Karena masih ada anggapan bahwa politik adalah suatu kegiatan kekuasaan yang dianggap kotor, penuh dengan intrik, sarat dengan kekerasan, dan tidak pantas dimasuki oleh kaum perempuan
penulis ( mohamad idham muslaini ,SE wartawan media suara nasional sulteng )
No comments:
Post a Comment