Bogor, Swaranasionalpos.com
- Pengerjaan pembangunan jalan, pengairan, jembatan dan bangunan di
beberapa kecamatan, di Kabupaten Bogor, “memaksa” Bupati dan Sekretaris Daerah
Bogor, Sabtu (8/10), blusukan dan turun ke lapangan untuk melihat/memastikan
penyerapan anggaran apakah sudah terserap dengan maksimal.
Kegelisahan orang nomor satu di Bogor ini semakin memuncak
karena banyaknya issu serta laporan dari masyarakat, bahwa ada ketidakberesan
dalam pelaksanaannya. Wilayah Kecamatan yang menjadi perhatianya saat ini ada
di Ciawi, Cisarua, Megamendung, Caringin, Cigombong dan Cijeruk. Fokus Bupati
secara khusus saat ini adalah Peningkatan Jalan Citapem-Ciderum di Kecamatan
Ciawi. Pengerjaan ini benar-benar menjadi sorotan yang luas ditengah-tengah
warga Bogor umumnya dan warga Ciawi khususnya karena waktu pengerjaan yang
terlambat.
Wajar, bila warga mempertanyakan integritas dinas terkait
yakni Dinas Bina Marga dan Pengairan dimana pengerjaan peningkatan jalan
sepanjang 2 kilometer yang dikerjakan CV. Citra Pratama dengan Konsultan
Pengawas PT. Laksana Disain Daya Cipta ini, seakan meledek serta meremehkan
Pemerintah Kabupaten Bogor dan warga yang berada di sekitar lokasi pekerjaan
karena seharusnya pekerjaan sudah harus
rampung per 25 Oktober 2016.
Data, informasi serta investigasi yang dilakukan SNP semakin
memperkuat dugaan, bahwa ketidakberesan dalam pengerjaan peningkatan jalan ini
patut dipertanyakan karena perusahaan/kontraktor terkesan amatiran. Hal ini
tentunya membuat publik juga mempertanyakan integritas Dinas Bina Marga dan
Pengairan kenapa perusahaan seperti itu bisa lolos untuk mendapat/memenangkan
kegiatan proyek peningkatan jalan yang lumayan panjang yakni 2 kilometer.
Anggaran sekitar Rp. 1.446.379.000/No kontrak:
620/A.060-15.1108/TING-JLN/SPJPK/DBMP/SPMK No: 620/A.060-15.1108/TING-JLN/SPMK/DBMP,
dengan waktu pelaksanaan 90 hari kalender (28 Juli-25 Oktober 2016), sudah
sepatutnya untuk dibawa ke ranah hukum karena per tanggal 22/11/2016,
proyek/kegiatan pelaksanaan pekerjaan dilapangan belum juga rampung. Tentunya,
selisih/hari dari kontrak kerja sampai per tanggal tersebut ada keterlambatan
sekitar 27 hari kerja. Selain pengerjaan yang terlambat, beberapa item
pekerjaan ada juga yang tidak digali dan dicor, tetapi hanya di siram semen.
Dengan kondisi tersebut, SNP meminta tanggapan/konfirmasi ke
Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Bogor Edi Wardani, melalui ajudanya Dedi
mengatakan, akan menyampaikan temuan tersebut ke pimpinanya.
“Saya akan
sampaikan temuan ini ke Kadis. Karena Pak Kadis Edi W sedang sibuk, nanti akan
dikoordinasikan ke Kepala Bidang,” ujar Dedi.
Kembali SNP ingin meminta ketegasan sikap dari instansi
terkait karena sudah menyangkut aturan hukum/wanprestasi sesuai dengan
Peraturan Presiden No 4/2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa, dan apakah nantinya
perusahaan pelaksana pekerjaan akan dimasukkan dalam daftar hitam, tetapi
menurut Pamdal bahwa Ajudan Kadis Dedi tidak berada diruangan dan saat itu
sedang olahraga. Pun melalui telepon selulernya, walau nada tersambung tetapi
tidak menjawab. Sementara itu, staf kepercayaan Bidang Pembangunan dan
Rehabilitasi Cecep, terkait temuan SNP, melalui telepon selulernya mengatakan,
temuan tersebut sudah disampaikan ke pimpinanya.
Inspektorat/pengawasan Kabupaten Bogor yang sedianya sesuai
tupoksi harus melakukan pemeriksaan, pengusutan,
pengujian, dan penilaian tugas pengawasan, juga seakan-akan tidak mau tahu
tentang temuan SNP. Inspektur Pembantu II yang menangani Bina Marga dan
Pengairan juga terkesan tertutup. SNP ingin meminta tanggapan langsung dari
Setyanto Sutatnto AK selaku Kepala/Pimpinan, menurut salah satu pegawainya, bahwa
yang bersangkutan tidak ada waktu dan saat itu sangat sibuk.
Pemerhati Masalah Pembangunan
dan Perkotaan Herry, Sabtu (3/12) di Kediamanya di Bilangan Cibinong, dengan
lugas mengatakan, bahwa secara aturan main/hukum, seharusnya, pihak terkait
yakni perusahaan pelaksana kegiatan dan instansi terkait yakni Dinas Bina Marga
dan Pengairan harus dilakukan pengusutan oleh aparat hukum yang lebih
berwenang.
“Penyakit” birokrasi selain
tidak adanya ketransfaranan dalam menjawab publik juga selalu terkesan tidak
mau tahu/sepele. Padahal ini sudah menyangkut ranah hukum. “Karena ada
keterlambatan waktu pengerjaan, maka tentu ada yang dirugikan sehingga harus
ada juga konsekuensi yang diterima. Misalnya, harus ada hitungan (finalty)
yaitu 1/1000 kali nilai kontrak. Artinya CV. Cita Pratama kena finalti Rp 1.440/hari.
Selanjutnya, karena tidak
profesional, perusahaan pelaksana kegiatan harus masuk daftar hitam.
“Bila memang fakta lapangan sudah tidak sesuai mekanisme, sudah
selayaknya di bawa ke ranah hukum, misalnya, melaporkan temuan tersebut ke Kejaksaan
Negeri. Hal ini diperlukan agar azas kehati-hatian dalam mengelola keuangan
Negara/Daerah bisa berjalan dengan baik,” katanya. *NAY/HR
No comments:
Post a Comment