Jakarta Media Suara Nasional- Meninggalnya Muhammad Yusuf di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Baru, Kalimantan Selatan, Minggu
(10/6/2018), tak ayal kembali membuat mata insan pers di tanah air terbelalak.
Pernyataan duka dan simpati mengalir dari kalangan insan pers, tak terkecuali
dari jajaran anggota Ikatan Wartawan Online di sejumlah daerah.
Muhammad Yusuf diketahui merupakan tersangka Polres
Kotabaru, Kalimantan Selatan, terkait kasus pencemaran nama baik menyusul
pemberitaan yang dituduhkan merupakan
bagian dari provokasi dan menghasut, sehingga dianggap merugikan PT Multi
Sarana Agro Mandiri ( PT MSAM).
Muhammad Yusuf disangkakan dan dituduh telah melanggar Pasal
45 A UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi Transaksi Elektronik berkaitan dengan pemberitaan tentang
adanya dugaan kisruh PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) sebuah perusahaan
milik pengusaha terkemuka di Kalimantan Selatan dan berdasarkan laporan Staff
Humas PT. MSAM (Multi Sarana Agro Mandiri) sejak maret lalu.
Bertalian dengan perkara yang mendera Muhammad Yusuf
sekaligus kasus kematian almarhum, Pengurus Pusat IWO sebagai bagian dari
masyarakat pers, pertama kali menyatakan rasa prihatin dan duka mendalam
terhadap meninggalnya almarhum Muhammad Yusuf. Di samping itu, sebagai sebuah
refleksi terhadap peristiwa ini, PP IWO merasa berkepentingan untuk menyatakan
sikap atas peristiwa tersebut dikarenakan hal ini adalah salah satu persoalan
genting menyangkut isu kebebasan pers yang juga merupakan parameter dalam
sebuah negara hukum yang berdemokrasi.
Pertama, kematian Muhammad Yusuf yang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Baru,
Kalimantan Selatan, diketahui adalah berstatus tahanan Kejaksaan. Adapun pihak
Lapas adalah pihak yang menerima titipan tahanan dari Kejaksaan Negeri
setempat. Dengan perkataan lain, dua lembaga ini terlibat dalam hal
pertanggungjawaban terhadap Muhammad Yusuf.
Pertanggunggungjawaban itu menyentuh aspek pelaksanaan tugas
pihak LP maupun Jaksa penuntut umum yang menangani perkara tersebut. Dalam pada
itu, apakah pihak Kejaksaan cq Jaksa penuntut umum telah menangani tahanannya
secara patut dan layak ? Lantas ketika dalam masa tahanan, APAKAH TIDAK
TERLACAK KONDISI MUHAMMAD YUSUF YANG BERADA DALAM KONDISI TIDAK SEHAT ? APAKAH
PERNAH ADA DOKTER YANG MEMERIKSA MUHAMMAD YUSUF? DAN YANG TERPENTING PULA,
APAKAH TIDAK DIJADIKAN PERTIMBANGAN SEDARI AWAL MENGENAI KONDISI MUHAMMAD YUSUF
SEBELUM PADA AKHIRNYA DIPUTUSKAN UNTUK DITAHAN ?
Kedua, pada bagian akhir uraian pertanyaannya di point satu
di atas, mencuat pula pertanyaan tertuju kepada
kepada pihak Polres Kotabaru yang menyidik perkara ini. Bahwa di dalam
perkara yang melibatkan insan pers dalam menjalankan fungsinya berdasarkan
Undang-Undang No.40 Tahun 1999, acapkali insan pers khususnya dari kalangan
media online dibayang-bayangi oleh jerat pidana sebagaimana pengaturan
Undang-Undang No.19 Tahun 2016 tentang perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Sebagai sebuah konsekwensi dari negara
hukum, keberadaan UU ITE tetaplah harus dihormati. Namun, yang perlu disadari
dan perlu dikritisi adalah menyangkut penerapannya. Dalam pada itu, sudahkah
penerapan daripada undang-undang tersebut memang telah menyentuh aspek filosofi
daripada tujuan pembentukan undang-undang ? Benarkah ketentuan Undang-Undang
ITE secara serta merta dapat menjerat wartawan dalam menjalankan fungsinya ?
Dalam pada itu, IWO mengkhawatirkan, penegak hukum tidak dapat membedakan
antara pelaksanaan tugas pers dengan pelaku tindak pidana yang memiliki sikap
kalbu yang secara jelas merupakan bagian dari subjek hukum yang menjadi pelaku
tindak pidana di dalam undang-undang ITE.
Ketiga, PP IWO memang menyadari ada hal-hal di dalam
ketentuan Undang-Undang ITE secara dogmatik tak dapat terelakkan mampu menjerat
insan pers. Namun kalangan penegak hukum yang secara ongebreideld (merajalela)
tanpa memperhatikan sistematika hukum, menciptakan kekhawatiran akan redupnya
kembali kondisi kebebasan pers yang diharapkan hingga matinya iklim demokrasi
di negeri ini ke depan. Bertalian dengan penerapan UU ITE terhadap wartawan,
delik yang kerap digunakan yakni delik pencemaran nama baik, maka di dalam
penerapannya penegak hukum hendaknya merujuk kepada Pasal 310 KUHP, dimana pada
ayat (3) Pasal 310 termaktub benteng
perlindungan bagi wartawan dalam menjalankan fungsinya. Penerapan UU ITE
terhadap insan pers selama ini cenderung mengabaikan hal itu.
Keempat, mengenai
keberadaan UU Pers dalam kaitannya dengan adanya unsur pidana dalam suatu
kegiatan pers. PP IWO tidak dapat menyangkal bahwa UU Pers, tidak melakukan
pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana atas sebuah kegiatan pers yang
terkategori sebagai tindak pidana. Meskipun pada akhirnya diterapkan
undang-undang lain untuk menjerat insan pers, UU pers tetaplah memiliki
semangat restoratif justice guna melindungi pihak-pihak yang beritikad baik
dengan adanya sarana hak jawab dan hak koreksi.
Seharusnya mekanisme inilah yang lebih dahulu dikedepankan
bukan semata-mata untuk memenjarakan insan pers. Dalam pada itu, IWO juga
mendesak Dewan Pers pro-aktif dalam menumbuhkembangkan nuansa restorasi atas
kasus-kasus hukum yang menjerat wartawan. IWO juga mendesak Dewan Pers
konsisten dan obyektif dalam memperjuangkan insan pers, tanpa melihat siapa
subjek hukum pers yang terlibat kasus pidana itu, namun tetap jernih melihat
kepada ada tidaknya unsur pelanggaran etika terlebih dahulu dalam menjalankan
tugas pers yang telah dilakukan.
Kelima, Bertalian dengan upaya represif yang dilakukan
terhadap Muhammad Yusuf, termasuk dengan melakukan upaya penahanan, PP IWO
berpendapat, upaya penahanan memang merupakan kewenangan dari penyidik
sebagaimana termaktub di dalam Pasal 21 ayat (1) sebagai syarat subjektif dan
Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun dalam hal pelaksanaan tugas penyidikan
menyangkut upaya penahanan yang telah dilakukan, sebagaimana pertanyaan yang
dipaparkan di atas, IWO mencurigai pertimbangan hukum dari mulai aparat
Kepolisian hingga Kejaksaan dalam hal
melakukan upaya penahanan terhadap Muhammad Yusuf lebih kental dengan nuansa
kekuasaan yang terbalut dalam “selimut kewenangan”. Kekuasaan, meskipun
merupakan hak yang diberikan secara konstitusional namun tidak membutuhkan
kegiatan kognitif. Sedangkan kewenangan membutuhkan kegiatan kognitif untuk
membuat suatu interpretasi. Atas fakta itu, IWO berpendapat bawa penahanan atas
M Yusuf adalah tindakan berlebihan.
Bertalian dengan hal itu,
IWO meminta kepada penegak hukum dalam melakukan fungsinya sehubungan
dengan kasus dugaan tindak pidana yang melibatkan insan pers, tak semata-mata
menggunakan kekuasaan melainkan secara jernih dapat melihat sistematik hukum
sebagai bagian dari fase penyelidikan dalam hukum pidana.
Keenam, kepada otoritas Kejaksaan dan Lapas dapat memberikan
keterangan yang jelas kepada masyarakat perihal meninggalnya Muhammad Yusuf
yang berada di bawah tanggungjawab kedua institusi tersebut.
Hal tersebut juga merupakan bagian dari pengembanan tugas
dan tanggungjawab dari kedua institusi sesuai peraturan perundang-undangan,
sekaligus mendesak agar melakukan proses yang transparan bila ditemukan
pelanggaran.(Sai/RED)
No comments:
Post a Comment