Palu.Media Suara Nasional-Awal kedatangan Guru Tua (Habib Idrus bin Salim Aljufrie) di Wani, Kota Palu, Sulawesi Tengah dalam rangka memenuhi panggilan dari kakak beliau, Habib Alwi bin Salim Aljufrie, untuk mengajar di Wani pada tahun 1929 M.
Kehadiran Guru Tua di Wani merupakan wujud dari keinginan masyarakat setempat yang ingin mengenal Islam lebih baik. Mereka pun bersama-sama mendirikan sebuah tempat yang digunakan untuk proses belajar-mengajar. Pada tahun 1930 M Guru Tua pun pindah ke Kota Palu dan menggunakan ruangan Toko Haji Quraisy di Kampung Ujuna sebagai ruangan belajar mengajar dan kemudian pindah ke rumah Almarhum Haji Daeng Maroca di Kampung Baru (Depan Mesjid Jami-Kampung Baru).
Pernikahan Guru Tua
Perjalanan Guru Tua sebagai seorang juru dakwah dan pendidik semakin memantapkan niat beliau untuk menetap di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Indoensia. Dalam pengembangan pendidikan dan dakwah Islam Guru Tua pun memutuskan untuk menikahi salah seorang bangsawan Puteri Kaili yang juga merupakan sosok perempuan yang sangat berperan dalam pengembangan Yayasan Alkhairaat Pusat. Dengan ketetapan hati dan petunjuk dari Allah SWT pada tahun 1935 M Guru Tua pun menikahi Ince Ami. Dari perkawinan ini beliau dikaruniai dua orang puteri, Sy. Sidah Aljufrie dan Sy. Sa’diyah Aljufrie.
Di Sulawesi Tengah Guru Tua telah melangsungkan tiga kali pernikahan pertama di Wani, kedua di Kota Palu dan ketiga di Ampana. Guru Tua menikahi Sy. Haolah binti Husein Alhabsyie yang adalah saudari dari kedua menantu beliau, Habib Ali bin Husein Alhabsyie dan Habib Idrus bin Husein Alhabsyie. Namun sama halnya dengan pernikahan pertama, Guru Tua tidak mendapatkan keturunan dari pernikahan ini.
Guru Tua di Kampung Baru
Untuk mengurangi padatnya jadwal Guru Tua dalam mengajar, maka Ince Ami mengusulkan kepada Guru Tua untuk mengajak muridnya, laki-laki dan perempuan, tinggal bersama mereka.
Lokasi lantai dasar dimanfaatkan oleh Ince Ami sebagai tempat tinggal bagi para murid laki-laki juga tempat mengajar Guru Tua, sedangkan bagi para perempuan, mereka tinggal dilantai dua sambil dapat terus belajar kepada Guru Tua dan Ince Ami, termasuk kedua puteri mereka, Sy. Sidah Aljufrie dan Sy. Sa’diyah Aljufrie.
Keberadaan para murid-murid ini sangat membantu kinerja Guru Tua dalam bidang pendidikan, beberapa dari mereka dikirim oleh Guru Tua ke daerah pelosok untuk mengajar.
Mesjid Jami Kampung Baru
Datangnya Islam ke Kota Palu jauh sebelum datangnya Guru Tua. Hal ini dapat dilihat dari sejarah berdirinya Mesjid Jami pada tahun 1812-1901 M oleh seorang bangsawan Bugis bernama Madika Jojokodi (1822-1890).
Dari segi arsitektur, masjid ini terbilang cukup modern, tentu jika diukur dengan kondisi pada waktu itu, tahun 1901 M. Fisik bangunannya terbuat dari tembok dengan beton bertulang. Kubahnya terbuat dari seng, termasuk juga atapnya. Dalam perkembangan selanjutnya, oleh para keturunan (ahli waris) Madika Jojokodi, yakni Parampasi, dibantu oleh dua orang tokoh agama, yakni Haji Ibrahim dan Haji Mongki, dilakukan beberapa perbaikan dan juga perluasan bangunan, termasuk dibangunnya dua buah menara masjid.
Maka, untuk mengenang para tokoh yang berjasa terhadap Masjid Jami Kampung Baru tersebut, jenazah mereka dimakamkan di halaman masjid bagian belakang. Termasuk juga imam-imam masjid yang sejak didirikan sampai hari ini sudah dijabat oleh 16 orang. Imam masjid yang pertama, yakni Imam H. Alwi Intje Ote, juga dimakamkan di halaman belakang Masjid Jami ini. Sedangkan, imam ke-16 sampai hari ini masih aktif, yakni Imam H. Abdul Rasyid Daeng Matantu.
Sumbangsih Ince Aminah Terhadap Pendidikan di Alkhairaat dan Nasional
Ketika kakak beliau, Sy. Sidah Aljufrie dinikahkan dengan Habib Ali Alhabyie, Guru Tua pun hendak menikahkan Sy. Sa’diyah Aljufrie dengan Habib Idrus Alhabsyie. Namun keinginan besar dan cita-cita Sy. Sa’diyah Aljufrie untuk memajukan pendidikan perempuan Kaili membuatnya menolak untuk dinikahkan pada usia muda. Sambil menangis Sy. Sa’diyah Aljufrie melaporkan hal tersebut kepada Ince Ami.
Sy. Sa’diyah Aljufrie berkata; “Ibu saya (ite) sangat menghargai Aba. Ite tidak pernah membantah dan sangat menurut kepada Aba saya”.
Akibatnya Sy. Sa’diyah Aljufrie pun harus meninggalkan Kota Palu, Sulawesi Tengah dan tinggal bersama keluarga dari Istri Guru Tua yang ada di Solo, Jawa Tengah, hingga selama setahun lamanya Sy. Sa’diyah Aljufrie tidak dapat bersekolah. Melihat keadaan tersebut disertai dengan kerinduan untuk bertemu sang bungsu, maka Ince Ami pun memberanikan diri untuk berbicara kepada Guru Tua perihal Sy. Sa’diyah Aljufrie.
Sa’diyah Aljufrie mengatakan “Ite selalu memanggil Aba dengan panggilan Guru”.
Ince Ami mengatakan kepada Guru Tua; “Jika Guru tidak mengizinkan anak Guru untuk mengajar di Alkhairaat, maka selamanya di Alkhairaat hanya ada guru laki-laki saja”.
Hal ini merubah pandangan Guru Tua yang hendak menikahkan Sy. Sa’diyah Aljufrie dan kemudian mengizinkan Sy. Sa’diyah Aljufrie menjadi guru perempuan pertama di Alkhairaat dengan syarat bahwa Sy. Sa’diyah Aljufrie harus mengajak beberapa orang teman perempuannya untuk menjadi tenaga pengajar di Alkhairaat.
Lokasi Madrasah Alkhairaat tempat Sy. Sa’diyah Aljufrie mengajar pertama kali yang sekarang telah menjadi Ruko |
Seiring bertambahnya murid serta para lulusan yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA, Ince Ami pun mewakafkan tanah seluas 5 Hektar untuk pengembangan pendidikan di Alkhairaat yang kemudian di bangun sekolah Mualimin Alkhairaat. Salah satu murid lulusan Mualimin adalah putri beliau, Sy. Sa’diyah Aljufrie.
Guru Tua bersama para murid |
Di dalam Komplek Alkhairaat Pusat terdapat berbagai jenjang pendidikan dari TPA, Play Group, TK, SD, Ibtidaiyah, SMP, Tsanawiyah, Aliyah, SMA, SMK, Panti Asuhan dan Pondok Pesantren yang berada dibawah naungan Pengurus Besar Alkhairaat atau lebih dikenal dengan Yayasan Alkhairaat Pusat Palu.
Pengembangan Pendidikan di Alkhairaat
Dalam perkembangannya, ketika dilaksanakan Muktamar I pada tahun 1956, jumlah madrasah Alkhairaat tercatat sebanyak 25 buah. Keputusan penting yang dihasilkan oleh Muktamar adalah dibukanya Madrasah Lanjutan Pertama yang dipimpin oleh Ustad Abbas Palimuri dengan mengakomodasi pelajaran umum dan agama masing-masing 50 persen. Pada tahun 1963 dilaksanakan Muktamar II Alkhairaat di Ampana. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah naik menjadi 150 cabang. Pada Muktamar Alkhairaat ke 3, jumlah madrasah meningkat lagi menjadi 450 cabang, Muktamar ke 4 tahun 1980, 556 cabang. Muktamar ke 5 tahun 1986 sebanyak 732 cabang, dan hingga akhir tahun 2004, Alkhairaat telah memiliki 1.561 Madrasah/Sekolah dan 34 Pondok Pesantren yang tersebar di Kawasan Timur Indonesia.
Di bidang pendidikan tinggi, Alkhairaat membuka Universitas Alkhairaat (UNISA) dengan 5 fakultas definitif dan 2 fakultas persiapan. Kelima fakultas tersebut yaitu Fakultas Agama, Pertanian, Perikanan, Ekonomi dan Sastra ditambah Fakultas Kejuruan dan Ilmu Pendidikan serta kedokteran. Sampai tahun 2004, UNISA tercatat telah mewisuda 1.841 sarjana Strata 1 dan D2.
Selain itu, untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada Keluarga Besar Alkhairaat dan masyarakat umum, dibukalah Rumah Sakit Islam S.I.S Aljufri yang diresmikan bersamaan dengan Haul ke 35 Habib Idrus Bin Salim Aljufri pada tahun 2004.( mery )(Pusat Data Alkhairaat – Alfagih Mugaddam)
No comments:
Post a Comment