Jakarta -
Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menilai upaya
mengganti presiden di tengah masa jabatan merupakan hak konstitusional
warga negara. Namun hal itu harus sesuai dengan undang-undang. Demikan, dikutif CNNI.
Pernyataan itu disampaikan Pigai menyikapi penangkapan sejumlah aktivis yang dituding melakukan makar, termasuk Direktur Institut Soekarno-Hatta, Hatta Taliwang, yang ditangkap pada dini hari tadi.
"Kritikan rakyat itu merupakan hak konstitusional warga negara, termasuk perbuatan atau tindakan mengganti presiden di tengah jalan asal konstitusional melalui parlemen," kata Pigai dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta kemarin.
Dia menilai penangkapan Hatta Taliwang dan sejumlah tokoh yang dituduh makar membuktikan watak pemerintahan represif. Sepanjang tindakan makar sesuai dengan konstitusi, menurutnya, hal itu bukan persoalan.
"Penangkapan terhadap Ibu Rachma dkk, termasuk Pak Hatta Taliwang, menujukkan tindakan represif pemerintah. Jangan sampai terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)," katanya.
Pigai mengatakan, makar atau kudeta yang tidak dibenarkan adalah makar yang bersifat inkonstitusional. Hal itu berarti tindakan makar tersebut menimbulkan instabilitas nasional, pelanggaran HAM, menghilangkan demokrasi, dan kedigdayaan sipil.
Dia menjelaskan, dalam human rights and elections disebutkan, di tengah kondisi tertentu atau situasi terpaksa, presiden memiliki kemampuan untuk mengeluarkan pernyataan darurat atau state in emergency.
Demikian pula dengan rakyat. Mereka juga memiliki kesempatan untuk melakukan pengambilalihan kekuasaan, apakah melalui people power ataupun kudeta, baik oleh militer atau sipil. Dia menyebut tindakan makar pernah dipraktikkan di Indonesia dan di negara-negara lain.
"Keduanya dilakukan hanya semata-mata demi pemulihan stabilitas sosial dan integritas nasional," kata Pigai.
Komisioner asal Papua itu mengatakan, kekuasaan presiden tidak tak terbatas. Dalam arti, kekuasaan presiden dibatasi oleh konstitusi negara.
Presiden adalah pemangku kewajiban (obligation) atas perlindungan dan pemenuhan HAM. Sementara kedudukan rakyat sebagai pemilik hak (Right holder). Oleh karena itu, rakyat berhak menilai dan mengkritisinya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Junimart Girsang berharap proses penyidikan kasus makar ini dilakukan secara transparan.
Dia meminta polisi mempublikasikan bukti makar yang dituduhkan kepada sejumlah orang yang telah ditangkap.
"Kami harapkan sekali lagi, polisi sebaiknya transparan dalam penyidikan. Sampaikanlah kepada masyarakat, agar tidak muncul isu-isu yang tidak kondusif," kata Junimart.
Dia yakin polisi masih memiliki bukti lain terkait dugaan makar tersebut. Namun Junimart belum mengetahui secara pasti dalam bentuk apa bukti tersebut.
"Kami tak tahu apakah mereka (polisi) masih punya bukti lain. Bukti percakapan langsung misalnya, saya yakin itu ada," kata Junimart.
Kemarin polisi kembali menangkap satu orang yang diduga terkait kasus makar. Kali ini yang ditangkap adalah Direktur Institut Soekarno-Hatta, Hatta Taliwang. Dia ditangkap di rumahnya pada pukul 01.30 WIB. ***
Pernyataan itu disampaikan Pigai menyikapi penangkapan sejumlah aktivis yang dituding melakukan makar, termasuk Direktur Institut Soekarno-Hatta, Hatta Taliwang, yang ditangkap pada dini hari tadi.
"Kritikan rakyat itu merupakan hak konstitusional warga negara, termasuk perbuatan atau tindakan mengganti presiden di tengah jalan asal konstitusional melalui parlemen," kata Pigai dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta kemarin.
Dia menilai penangkapan Hatta Taliwang dan sejumlah tokoh yang dituduh makar membuktikan watak pemerintahan represif. Sepanjang tindakan makar sesuai dengan konstitusi, menurutnya, hal itu bukan persoalan.
"Penangkapan terhadap Ibu Rachma dkk, termasuk Pak Hatta Taliwang, menujukkan tindakan represif pemerintah. Jangan sampai terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)," katanya.
Pigai mengatakan, makar atau kudeta yang tidak dibenarkan adalah makar yang bersifat inkonstitusional. Hal itu berarti tindakan makar tersebut menimbulkan instabilitas nasional, pelanggaran HAM, menghilangkan demokrasi, dan kedigdayaan sipil.
Dia menjelaskan, dalam human rights and elections disebutkan, di tengah kondisi tertentu atau situasi terpaksa, presiden memiliki kemampuan untuk mengeluarkan pernyataan darurat atau state in emergency.
Demikian pula dengan rakyat. Mereka juga memiliki kesempatan untuk melakukan pengambilalihan kekuasaan, apakah melalui people power ataupun kudeta, baik oleh militer atau sipil. Dia menyebut tindakan makar pernah dipraktikkan di Indonesia dan di negara-negara lain.
"Keduanya dilakukan hanya semata-mata demi pemulihan stabilitas sosial dan integritas nasional," kata Pigai.
Komisioner asal Papua itu mengatakan, kekuasaan presiden tidak tak terbatas. Dalam arti, kekuasaan presiden dibatasi oleh konstitusi negara.
Presiden adalah pemangku kewajiban (obligation) atas perlindungan dan pemenuhan HAM. Sementara kedudukan rakyat sebagai pemilik hak (Right holder). Oleh karena itu, rakyat berhak menilai dan mengkritisinya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Junimart Girsang berharap proses penyidikan kasus makar ini dilakukan secara transparan.
Dia meminta polisi mempublikasikan bukti makar yang dituduhkan kepada sejumlah orang yang telah ditangkap.
"Kami harapkan sekali lagi, polisi sebaiknya transparan dalam penyidikan. Sampaikanlah kepada masyarakat, agar tidak muncul isu-isu yang tidak kondusif," kata Junimart.
Dia yakin polisi masih memiliki bukti lain terkait dugaan makar tersebut. Namun Junimart belum mengetahui secara pasti dalam bentuk apa bukti tersebut.
"Kami tak tahu apakah mereka (polisi) masih punya bukti lain. Bukti percakapan langsung misalnya, saya yakin itu ada," kata Junimart.
Kemarin polisi kembali menangkap satu orang yang diduga terkait kasus makar. Kali ini yang ditangkap adalah Direktur Institut Soekarno-Hatta, Hatta Taliwang. Dia ditangkap di rumahnya pada pukul 01.30 WIB. ***
No comments:
Post a Comment