Tragedi penindasan, pembantaian,
penyiksaan, pemerkosaan, pemusnahan, penghancuran, dan diskriminasi lainnya
yang kembali terjadi di Distrik Maungdaw di bagian utara Arakan (Rakhine State)
yang dilakukan oleh Militer Myanmar terhadap Rohingya baru-baru ini
mengingatkan pada Operasi Naga Min pada masa pemerintahan Juncta Militer
Myanmar. Demikian dikutif dari Arrahmah
Advokat SNH, Heri Aryanto dalam
peringatan Hari HAM sedunia menyebut tragedi ini jelas adalah kejahatan HAM
luar biasa dalam bentuk genosida dan kejahatan kemanusiaan yang memenuhi
ketentuan Artikel 6 dan 7 dari Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998 (Rome Statute
of International Criminal Court).
Heri yang juga dipercaya sebagai
Koordinator Aksi Bela Rohingtya dari Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF
MUI) ini mengungkapkan bahwa tragedi kemanusiaan paling mengerikan ini adalah
catatan sejarah paling kelam bagi umat manusia di seluruh dunia karena di abab
modern seperti ini masih ada etnis Rohingya yang menjadi manusia paling
teraniaya di muka bumi. Padahal Dekralasi Universal Hak Asasi Manusia tahun
1948 (“DUHAM”) sudah secara tegas menjamin bahwa setiap orang berhak atas
kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu (Artikel 3). DUHAM juga
menjamin tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam,
diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina (Artikel 5).
“Adanya UU Kewarganegaraan Myanmar
tahun 1982 yang menghilangkan hak atas kewarganegaraan Rohingya di Myanmar juga
bertentangan dengan DUHAM, karena Artikel 15 DUHAM telah menjamin bahwa setiap
orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan dan tidak seorang pun dengan
semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya”, jelasnya kepada redaksi Sabtu
(10/12/2016).
Menurut pria yang pernah menjumpai
Rohingya di Arakan pada 2013 silam ini menuturkan bahwa PBB telah merespon
tragedi ini dengan baik yaitu dengan mengirimkan Special Rappourter ke
Arakan dan kemudian mengeluarkan Resolusi 69/248 tanggal 29 Desember 2014 dan
Resolusi 70/233 tanggal 23 Desember 2015, dimana pada Resolusi yang terakhir
ini di poin (14) PBB secara tegas telah meminta kepada Myanmar agar memberikan
kepada Rohingya hak atas atas kewarganegaraan penuh dan hak-hak terkait lainnya
seperti hak sipil dan politik, hak kebebasan bergerak, hak kembali secara aman
dari tempat pengungsian ke daerah asalnya, akses yang sama ke semua layanan,
khususnya kesehatan dan pendidikan, hak untuk menikah dan mendaftarkan
kelahiran, dan hak penuh atas investigasi mandiri dan transparan atas semua
laporan pelanggaran HAM. Akan tetapi, Resolusi PBB tersebut ditolak oleh
Pemerintah Myanmar.
“Mereka (Pemerintah Myanmar) tolak
mentah-mentah Resolusi PBB tersebut atas dalih kedaulatan negara,” imbuhnya.
Padahal menurutnya, hak atas
kewarganegaraan penuh dan hak terkait lainnya tersebut dinilai sebagai akar
konflik sekaligus sebagai solusi yang diinginkan oleh mayoritas Rohingya. Oleh
karenanya, peran aktif dan konkrit dari Indonesia sebagai Saudara Tertua
Myanmar dalam menghentikan genosida terhadap Rohingya dan turut menyelesaikan
akar konflik ini adalah posisi yang sangat strategis bagi Indonesia sebagai Founder
ASEAN dan negara anggota PBB, yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap Hak
Asasi Manusia dan perdamaian dunia.
“Kita apresiasi upaya Pemerintah
Indonesia melalui Ibu Menteri Luar Negeri yang sudah mendatangi Pemerintah
Myanmar. Untuk itu, upaya mulia dari Ibu Menteri ini harus terus didukung dan
dikawal agar Hak Asasi Rohingya, khususnya Hak Atas Kewarganegaraan Penuh
diberikan oleh Pemerintah Myanmar” pungkasnya.***
No comments:
Post a Comment