Pembubaran acara pra-Natal di
Sabuga, Bandung, Selasa (06/12) malam oleh kelompok intoleran lagi-lagi
menggunakan alasan perizinan yang belum lengkap, dan ini menurut aktivis
keberagaman dinilai sebagai alasan 'mengada-ada'. Demikian dikutif BBC Indonesia.
Dalam salah satu video, tampak beberapa orang yang menyerukan pada jemaat untuk berhenti bernyanyi, kemudian mulai bergerak ke panggung sambil terus meneriakkan seruan yang sama.
Sesekali seruan keras diiringi takbir yang dilontarkan agar jemaat berhenti bernyanyi bisa terdengar, namun juga terbenam oleh koor 'Malam Kudus' dari jemaat STEMI.
Sejumlah laporan menyebut kelompok yang menamakan diri Pembela Ahlus Sunnah dan Dewan Dakwah Islam menghentikan acara tersebut karena menganggap acara keagamaan tidak seharusnya dilakukan di tempat umum.
Ketua Pembela Ahlus Sunah Muhammad Roin mengatakan, "Kesepakatannya itu bahwa yang (acara) jam 13.00 mereka minta tetap dilaksanakan sampai jam 15.00, tapi yang jam 18.00 sore, mereka menyatakan tidak jadi dilaksanakan.
"Tidak ada intimidasi, tidak ada pemaksaan, itu kesepakatannya, dan itu dituangkan dalam kesepakatan bersama antara panitia, kepolisian dan Kesbang (Badan Kesatuan Bangsa) Kota Bandung."
Lebih lanjut Roin mengatakan, "Yang (acara) malam (hari) itu, kalaupun mau dilaksanakan, dilaksanakan di gereja. Tapi kalau peribadahan itu harus ada pengantar, atau apalah namanya, dari Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat. Dan itu belum ada."
Meski Roin mengatakan bahwa acara itu tak memiliki surat pengantar dari Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, namun Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dalam pernyataan resmi lewat akun Facebooknya mengatakan bahwa kegiatan acara Natal tersebut adalah kegiatan level provinsi, dan surat rekomendasi datang dari Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Kombes Yusri Yunus mengatakan pada media bahwa panitia KKR Natal tersebut tidak memiliki izin menggelar ibadah yang lengkap sehingga mediasi antara panitia acara dengan ormas dilakukan.
Dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di kompleks Istana Kepresidenan menganggap peristiwa tersebut sebagai "kejadian kecil yang tidak mengganggu apa-apa".
Terhadap berbagai pernyataan pemerintah ini, Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos berpendapat, "Tidak mungkin lah panitia mencoba berbuat sesuatu yang di luar yang diizinkan aparat keamanan.
"Saya melihat itu hanyalah excuse dari pemerintah setempat, aparat setempat, bahwa, 'yang diizinkan hanya siang hari kan, yang jam 13.00 sampai 16.00 kan, tapi yang malam tidak'. Karena itulah maka kelompok-kelompok intoleran itu melakukan sesuatu," katanya.
Selain itu, menurut Bonar, aturan yang diajukan oleh Pembela Ahlus Sunnah bahwa acara KKR seharusnya tidak dilangsungkan di tempat umum, juga dinilainya tidak tepat.
"Kalau kegiatannya bersifat reguler, itu memang harus di tempat ibadah, seperti ibadah Minggu tentu saja harus di gereja, atau orang muslim, Jumatan itu di masjid. Tapi kalau kegiatan nonreguler, yang bersifat insidentil, itu tidak diatur, dan dimungkinkan untuk diadakan di ruang publik asalkan mendapat izin, atau memberi pemberitahuan kepada aparat keamanan," kata Bonar.
Bonar mencontohkan kegiatan keagamaan kelompok Muslim, seperti pengajian di Jakarta yang sering sampai menutup jalan umum, atau aksi 212 yang merupakan doa bersama dan salat Jumat di lapangan besar yang merupakan ruang publik.
"Itu hanya argumen yang selalu mengada-ada dan tidak masuk akal yang dibuat oleh kelompok intoleran untuk memang menekan kelompok minoritas," kata Bonar.
Lewat pernyataan resmi tertulisnya, Stephen Tong Evangelistic Ministeries International atau STEMI menyatakan bahwa panitia telah menerima surat tanda terima pemberitahuan dari kepolisian yang menjadi bukti bahwa STEMI telah menyampaikan tentang rencana KKR yang berlangsung pada malam hari ke polisi, sehingga mereka menyatakan telah memenuhi setiap prosedur hukum yang diwajibkan dalam penyelenggaraan KKR tersebut, dan menuntut adanya penegakkan hukum.***
No comments:
Post a Comment