JAKARTA, SNP - Komisi VII DPR RI mendesak Perusahaan Listrik
Negara (PLN) mengambil langkah hukum untuk mempidanakan 34 kontraktor yang
kabur menelantarkan proyek pembangkit listrik yang mereka menangkan. Kaburnya
sejumlah kontraktor tersebut membuat proyek listrik 35.000 megawatt menjadi
terhambat.
"Jangan beralasan tidak bisa dituntut secara perdata,
jadi kejar pidananya," tegas Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Hanura,
Inaz Nasullah.
Inaz mengatakan, komisinya akan mendalami klausal kontrak
tersebut dalam perjanjian kontraktor dengan PLN dalam pembangunan pembangkit
itu. "Saya perlu membaca dulu kontraknya. Apalagi 34 kontrak ini ditanda
tangani di era pemerintahan yang lalu," kata Inaz.
Menurutnya, dalam kasus ini beredar informasi bahwa kontrak tersebut
diduga melibatkan putra mantan Direktur Utama PLN Dahlan Iskan. Namun Inaz
enggan berkomentar lebih jauh soal keterlibatan anak mantan Menteri BUMN era
Presiden SBY tersebut.
"Perlu didalami kebenarannya, saya melihatnya dalam tujuh
tahun yang lalu itu ada permainan dan harus diselidiki," ujarnya.
Untuk membongkar adanya kontraktor yang kabur dan penyebab
proyek tersebut mangkrak, pemerintah harus berani mengungkapkan siapa saja yang
bermain dalam proyek tersebut.
Direktur Utama (Dirut) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN
perseroan) Sofyan Basir sebelumnya menyebutkan ada 34 proyek pembangkit listrik
bagian dari progran listrik 35.000 megawatt yang mangkrak akibat kontraktornya
kabur. Hal itu diduga akibat mereka sebelumnya tidak meneliti dengan baik feasibility
atau kelayakan proyek tersebut. Sehingga mengajukan penawaran harga yang paling
murah akibatnya mereka merugi. Sementara PLN tidak dapat menggugat secara hukum
para kontraktor yang tidak menyelesaikan proyek tersebut.
Tidak Punya Kemampuan Dan Pengalaman
Direktur Eksekutif CERI (Center of Energy and Resources
Indonesia) Yusri Usman menilai kaburnya para kontraktor pembangkit listrik
disebabkan banyak faktor. Menurutnya, kesalahan utama persoalan ini terletak di
pihak PLN. Sebab mereka telah memutuskan pemenang kontraktor EPC (engineering,
procurement and construction) yang tidak mempunyai kompetensi secara teknis dan
modal maupun pengalaman dalam mengerjakan proyek pembangkit.
"Termasuk adanya kebijakan menunjuk pemenang dengan
harga penawaran yang terendah. Karena faktanya belakangan mereka rugi dan salah
hitung, akibatnya kontraktornya lari dari tanggung jawab, " seperti
dirilis gresnews.com.
Menurutnya panitia lelang juga dalam posisi dilema dalam
memutuskan pemenang pada setiap tender. Sebab jika menunjuk pemenang lelang
dengan harga tinggi yang wajar, hal itu tentu akan menjadi temuan BPKP atau BPK
dan bisa timbul masalah hukum. Sementara jika menunjuk penawar harga terendah
ujungnya proyek menjadi mangkrak karena ditinggalkan.
Ia mengungkapkan bahwa komponen pembangkit seperti generator
dan turbin yang berbeda dan kebanyakan berasal dari negara Tiongkok itu belum
tentu teknologinya dipahami para kontraktor. "Sebab yang paham adalah
mereka dari negara pembuatnya," jelasnya.
Ia justru berharap PLN bisa terbuka kepada publik soal 34
perusahaan yang kabur dari tanggung jawab membangun proyek Pembangkit itu.
Sebelumnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi
VII DPR beberapa waktu lalu, Dirut PLN Sofyan Basir mengungkapkan, ada 34
pembangkit yang bermasalah di sejumlah wilayah. Diantaranya wilayah Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua. Dari hasil
kajian, PLN bisa melanjutkan 21 proyek pembangkit yang terkendala itu,
sementara 13 proyek lainnya diterminasi alias ditutup.
Sofyan menjelaskan, 13 proyek itu tidak dilanjutkan dengan
alasan terjadi salah perhitungan oleh kontraktor sebelum mengerjakan proyek.
"Pada saat kontrak awal mereka (kontraktor) tidak meneliti dengan baik
soal penawaran harga. Hingga mereka menawar yang paling murah, maka itu yang
terjadi," kata Sofyan di sela-sela Rapat dengan Komisi VII DPR RI, Gedung
DPR RI, Jakarta, Kamis (13/10).
Ia juga mengungkapkan sejauh ini pihaknya tidak bisa
menggugat atau pun melakukan upaya hukum kepada kontraktor. Sebab mereka telah
terikat ketentuan dalam kontrak. "Kalau untuk menggugat kontraktor tidak
bisa, karena mereka dalam kontraknya kuat. Contohnya jika kita putus kontrak,
mereka tidak ada beban dan ganti rugi, tetapi kalau kita lanjutkan dan selesai,
dia masih ada keuntungan (kompensasi)," ujarnya.
Sofyan mengakui kontrak model ini tidak menguntungkan bagi
PLN. Sehingga menjadi salah satu alasan 13 proyek pembangkit tersebut
diterminasi. Selain itu, ada juga pertimbangan soal struktur geografis, seperti
lahan rawa yang tidak memungkinkan untuk membangun pembangkit listrik serta
kerugian biaya yang ditanggung.
Adapun sebanyak 21 proyek pembangkit lainnya akan
dilanjutkan dengan pertimbangan urgensi kebutuhan listrik untuk masyarakat yang
tinggal di daerah tersebut. Terkait mangkraknya 34 proyek itu Sofyan mengaku,
belum menghitung total kerugiannya, karena masih dalam penghitungan BPKP yang
diperkirakan akan selesai sekitar satu bulan ke depan. (*)
No comments:
Post a Comment