JAKARTA – Sejumlah aktivis antikorupsi dan wakil rakyat di DPR menyoroti buruknya kinerja Jaksa Agung M. Prasetyo.
Mereka berharap presiden mengevaluasi kinerja bekas anggota DPR dari Fraksi NasDem itu.
Sebab, tidak hanya minim prestasi di bidang penegakan hukum, Prasetyo juga membuat kinerja kejaksaan memburuk.
Hal itu setidaknya tergambar dari
evaluasi akuntabilitas kinerja serta audit laporan keuangan terhadap
Kejaksaan Agung (Kejagung).
Sebagaimana diketahui, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen pan-RB)
pernah melansir hasil evaluasi akuntabilitas kinerja di tiap kementerian
dan lembaga (K/L) setingkat menteri pada 2015.
Dari hasil evaluasi tersebut, Kejagung menempati posisi paling buncit, yakni peringkat ke-86 dengan skor 50,2 dan predikat CC.
Capaian itu memalukan. Sebab, lembaga penegak hukum lainnya mendapatkan hasil lebih baik. Misalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) keluar sebagai lembaga penegak hukum yang paling transparan.
Mereka mendapat nilai 73,72 dengan
predikat BB. Begitu juga Kementerian Hukum dan HAM yang mendapatkan
peringkat ke-31 dengan nilai 58,32 (predikat B).
”Menyedihkan, Kejaksaan (Agung) berada
di peringkat terendah dari keseluruhan kementerian dan lembaga di
Indonesia,” cetus peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar, seperti dikutif JPNN.
Predikat itu tentu memalukan. Sebab, kejaksaan merupakan penegak hukum yang seharusnya mengedepankan transparansi.
Jebloknya kinerja Kejagung di tangan
Prasetyo juga tergambar dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
tahun anggaran 2015.
Hasil audit yang didapat Kejagung ternyata turun. Dari wajar tanpa pengecualian (WTP) menjadi wajar dengan pengecualian (WDP).
Turunnya predikat hasil audit BPK itu
juga sangat memalukan. Sebab, berdasar laporan BPK, justru ada sejumlah
K/L yang bisa mempertahankan predikatnya. Bahkan, ada K/L yang
predikatnya ”naik kelas”.
Data ICW yang didapat dari BPK menggambarkan mengapa predikat audit laporan keuangan Kejagung turun kelas.
Dalam laporan keuangannya, per 31 Desember 2015 Kejagung memiliki nilai belanja barang Rp 1,46 triliun.
Dari jumlah itu, ternyata Rp 656,62
miliar merupakan realisasi belanja penanganan perkara pada satuan-satuan
Kejagung: kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri.
Sistem pengendalian atas belanja
penanganan perkara tersebut sebenarnya telah diatur dalam petunjuk
pelaksanaan pertanggungjawaban belanja penanganan perkara.
Namun, dalam pelaksanaannya, sistem pengendalian belanja penanganan perkara di Kejagung belum berjalan efektif.
Akibatnya, dalam pemeriksaan belanja penanganan perkara pada 45 satuan kerja di Kejagung, BPK mendapati temuan.
Antara lain, pelaksanaan
pertanggungjawaban belanja penanganan perkara Rp 46,39 miliar ternyata
belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan.
Apa saja yang tak sesuai dengan
ketentuan? Pertama, pertanggungjawaban belanja penanganan perkara tidak
didukung bukti yang memadai.
Selain itu, terdapat penggunaan realisasi belanja penanganan perkara yang tidak terkait dengan penanganan perkara.
Temuan itu terjadi karena tidak efektifnya sistem pengendalian internal.
Bukan hanya ICW yang membeberkan fakta buruknya kinerja Kejagung dalam hal transparansi dan pengelolaan anggaran.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia
(MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) juga punya catatan
kritis terkait realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Ternyata, di era Prasetyo, PNBP Kejagung juga turun.
Mengacu laporan 2015, Kejagung telah merealisasikan penerimaan PNBP Rp 704 miliar.
”Realisasi itu memang sesuai target.
Tapi, kalau dibandingkan dari tahun-tahun sebelumnya, terjadi
penurunan,” kata Ketua Harian MaPPI FHUI Choky Ramadhan.
Sebagaimana diketahui, realisasi PNBP Kejagung pada 2014 sebesar Rp 3 triliun.
Penurunan PNBP 2015 itu tentu tak bisa
dianggap enteng. Sebab, hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan
pemerintah pusat 2015 mencatat bahwa Kejagung punya piutang PNBP Rp 15,7
triliun.
Piutang tersebut berasal dari uang
pengganti perkara tindak pidana korupsi, denda tilang, dan sewa rumah
dinas yang belum diselesaikan.
”Jika kejaksaan serius melakukan eksekusi, tentu PNBP bisa lebih tinggi,” ujarnya.
Eksekusi terkait uang pengganti perkara korupsi memang menjadi masalah serius di Kejagung, terutama di era Prasetyo.
Dalam audit BPK atas keuangan Kejagung
2016, ditemukan adanya piutang uang pengganti di neraca per 31 Desember
2015 sebesar Rp 15 triliun.
Uang pengganti tersebut berada di bidang pidana khusus Rp 5,8 triliun serta bidang perdata dan tata usaha negara Rp 9,8 triliun.
”Jaksa agung tidak pernah transparan
kepada publik terkait pengembalian kerugian negara, pengelolaannya, dan
perampasan aset yang berkaitan dengan korupsi,” tukas Aradila.
Menanggapi sorotan terkait transparansi dan pengelolaan keuangan lembaganya, Jaksa Agung M. Prasetyo menjawab enteng.
Menurut dia, ICW tidak tahu kesulitan
yang dialami lembaganya. Namun, saat ditanya apa kesulitannya, mantan
politikus Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu tak mau menjawab
panjang.
”Suruh kemari mereka (ICW). Suruh datang ke sini, kami jelaskan. Jadi tak hanya dengan asumsi dan persepsi saja,” cetusnya.
Pernyataan Prasetyo itu tentu patut dipertanyakan. Sebab, ICW menyampaikan rilisnya bukan sekadar berdasar asumsi dan persepsi.
Jebloknya Kinerja Kejaksaan di Era Prasetyo
1. Hasil evaluasi akuntabilitas kinerja kementerian/lembaga jeblok.
- Berdasar evaluasi Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen pan-RB),
Kejaksaan Agung (Kejagung) menempati posisi terbawah (86) dengan skor
50,2 (predikat CC).
2. Hasil audit laporan keuangan BPK turun.
- Sebelumnya Kejagung mendapatkan
predikat wajar tanpa pengecualian (WTP). Di era Prasetyo, predikat turun
menjadi wajar dengan pengecualian (WDP). Itu terjadi karena
pertanggungjawaban belanja penanganan perkara tidak sesuai dengan
ketentuan.
3. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) turun.
- PNBP 2015 turun jika dibandingkan dengan 2014. Padahal, Kejagung memiliki piutang PNBP Rp 15,7 triliun.
4. Uang pengganti Rp 15 triliun belum dieksekusi.
- Piutang ada di pidana khusus (Rp 5,8 triliun) serta perdata dan tata usaha negara (Rp 9,8 triliun).
(* Sumber)
No comments:
Post a Comment