Hakim
Jangan Fokus Kepada Denda Tetapi Harus Melihat Dampak Lain
![]() |
Bangunan diduga bermasalah di Jalan Duren Tiga Kecamatan Pancoran |
JAKARTA, Swaranasionalpos.com - Tindakan yustisi untuk para pelanggaran izin
bangunan di Kota Administrasi Jakarta Selatan yang akan direncanakan pada 24/25
November tahun ini mendapat perhatian serius dari kalangan masyarakat.
Masyarakatpun berharap agar hakim tidak hanya semata fokus kepada denda tetapi
harus memperhatikan dampak lain yang ditimbulkan yaitu kerusakan lingkungan dan
dampak sosial.
Para pengembang harus diberi dan pantas mendapat
ganjaran setimpal, karena pelanggaran terjadi, bukan karena tidak mengetahui
prosedur untuk kegiatan membangun tetapi ada unsur kesengajaan untuk
“memanipulasi” retribusi ke Pemerintah Daerah.
Bangunan komersial berupa, Real Estate, Town House,
Apartemen, Kos-kosan, Rumah Toko, bahkan Apartemen cenderung mengabaikan dampak
lingkungan yang menjadi penyebab, salah satunya, banjir. Hal tersebut bisa
terjadi, karena selain tidak kooperatifnya serta “lemahnya” instansi terkait
(Sudin Penataan Kota-red) dalam melakukan tindakan “bongkar”, juga minimnya
sosialisasi perizinan ditengah-tengah masyarakat. Semakin “masa bodohnya” para
pengembang dengan dampak lingkungan dikarenakan mudahnya yustisi yang hanya
memikirkan denda. Sementara badan/instansi pengawas, misalnya, Inspektur
Pembantu Kota (Irbanko) kurang melirik “kasus” ini.
Pengamat Perkotaan dan Lingkungan Hidup Herry K. H,
di kediamanya, di Bilangan Tebet, Sabtu (19/11), dengan lugas mengatakan, bahwa
pengamatan yang dilakukan SNP dilapangan mungkin benar-benar terjadi. Tetapi,
kata Herry, bahwa denda yang diterima pemilik/pengembang masih sangat terlalu
ringan.
“Pengembang yang melakukan
pelanggaran perizinan sesuai peruntukan bisa saja mendapat pidana murni. Aturan
untuk itu sudah jelas dan tidak mungkin para pemilik bangunan/pengembang tidak
mengetahui masalah tersebut. Tetapi aturan diabaikan dan itu sudah unsur
kesengajaan,”kata Herry.
“Sebelum pemilik/pengembang memulai kegiatan
membangun, seharusnya terlebih dahulu memiliki izin resmi, baru melaksanakan
kegiatan dilokasi” tambah Herry.
Pengamatan SNP di lapangan, banyak kegiatan membangun
terlaksana tetapi belum memiliki izin resmi. Padahal aturan, misalnya, UU No
28/2002 Tentang Bangunan, Perda No 7/2010 Tentang Pembangunan di DKI Jakarta,
Peraturan Gubernur DKI No 128/2012 Tentang Sanksi hukum bagi pelanggar bangunan
dan Perda No 7/2010 Bab XVIII Ketentuan Pidana, sudah dengan tegas/jelas
mengatur tata/mekanisme untuk semua kegiatan membangun di DKI Jakarta umumnya,
dan di Jakarta Selatan Khususnya.
Sementara itu ada beberapa pasal, para
pemilik/pengembang yang membandel, bisa saja didakwa dengan pidana murni bukan
hanya dituntut membayar denda. Seperti dalam Perda No. 7/2010, Pasal 283 ayat 1
dan 2, ada 18 pasal yang menjerat para pelaku pelanggaran dengan hukuman 3
bulan penjara atau denda Rp 50 juta. Dan
12 pasal hukuman lebih berat, penjara 6 bulan atau denda Rp 50 juta. Beberapa
pasal yang bisa menjerat pelaku pelanggaran, sesuai tersebut ada di pasal 283
ayat 1. Disana dinyatakan bahwa, setiap pemilik bangunan gedung, pengguna
bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan gedung yang melanggar
ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 42 ayat (1), Pasal 51, Pasal 64, Pasal 137
ayat (1), Pasal 144 ayat (2), Pasal 150, Pasal 151, Pasal 152. Pasal 162 ayat
(1), Pasal 189 ayat (1), Pasal 198 ayat (1), Pasal 195, Pasal 206 ayat (2),
Pasal 219, Pasal 220, Pasal 253 ayat (1), Pasal 255 ayat (1), dan Pasal 259
ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda
paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Ayat (2) Setiap pemilik
bangunan gedung, pengguna bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi bangunan
gedung yang melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (3), Pasal 15 ayat (1), Pasal 124
ayat (3), 183 ayat (1), Pasal 186 ayat (4), Pasal 188 ayat (1), Pasal 191,
Pasal 192, Pasal 195, Pasal 231 ayat (1), Pasal 237 ayat (1), dan Pasal 245
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda
paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
Yang paling tegas untuk menjerat pelaku dalam bentuk
pidana ada di Perda No 7/2010, Pasal 24 ayat (1) Setiap orang yang mendirikan
bangunan gedung tidak boleh melanggar ketentuan minimal jarak bebas bangunan
gedung yang ditetapkan dalam RTRW, RDTR, peraturan zonasi, dan/atau panduan
rancang kota. Pasal 42 ayat (1) Setiap pemilik bangunan gedung wajib menyediakan
sarana parkir kendaraan sesuai dengan standar ketentuan yang berlaku dan Pasal 137 ayat (1) bahwa sebelum
kegiatan pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai papan nama proyek harus
terpasang dan pemilik wajib memasang pagar halaman pengaman proyek dengan
memperhatikan keamanan dan keserasian sekelilingnya serta tidak melampaui garis
sepadan jalan. *KND
No comments:
Post a Comment