MEDIA SUARA NASIONAL

RELEVAN - OBJEKTIF - LUGAS

lightblog

Monday, November 21, 2016

Dinas Kebersihan DKI Terbitkan Stiker Sakti ? TPST Bantar Gebang Tampung Limbah Industri



Bekasi, Swaranasionalpos.com - Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang atau lebih akrab dengan sebutan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Mengalami perubahan yang signifikan  disebabkan adanya perubahan pengolahan dari sistim Open Damping menjadi Sanitary Landfill, dimana amanah UU No. 18 tahun 2008 mengharuskan pengolahan sampah harus menggunakan teknologi tinggi dan ramah lingkungan.

Semenjak tahun 1999 hingga tahun 2008, pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Bantar gebang hanya memiliki luas 108 hektar kini menjadi 110,3 hektar. Ini menggambarkan situasi yang kurang peduli terhadap pencemaran dan kondisi lingkungan. Buruknya pengelolaan dan kurang kepedulian menjadi ancaman kesehatan. Serta mengabaikan partisipasi masyarakat sekitar. Menimbulkan adanya penolakan secara massif dan berujung pada penolakan secara terbuka. Bahkan lebih parahnya lagi timbul Image buruk terhadap TPA Bantar gebang.

Berjalannya waktu, pengelolaan sampah era lama mulai berubah bersamaan dengan tuntutan masyarakat ditambah kebijakan baru. Kemudian lahirlah Undang-Undang No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang merupakan tonggak sejarah era baru. Berbarengan dengan itu terjadi pergantian pengelola TPA Bantar gebang dari yang lama ke otoritas yang baru. 

Perubahan kepemimpinan juga memperngaruhi kebijakan pada pengelolaan TPA, dimana selama ini menjadi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar gebang menjadi tumpuan utama Pemerintah DKI Jakarta untuk membuang sampah. Karena pilihan alternatif untuk menampung sampah DKI di daerah lain sulit diwujudkan.

Kondisi akhir 2007 dan awal 2008, TPST Bantar gebang menjadi momok buruk bagi warga. Maka dicarilah jalan keluar dengan membuat opsi menerapkan prinsip reduce, reuse, recycle (3R) menuju Recovery Estate. TPST Bantargebang sebagai pusat daur ulang, composting, penelitian, pelatihan, rekreasi, dan lain-lain, banyaknya kegiatan disana maka dilakukan perluasan lahan, pemanfaatan kembali zona-zona yang sampahnya mengalami dekomposisi, upaya-upaya pemanfaatan teknologi pengolah sampah, dan rencana pemanfaatan gas methane (CH4) untuk energi melalui  mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism, CDM). 

Upaya menangani persoalan di TPST Bantar gebang dilakukan secara terencana, terpadu dan bertahap dengan melibatkan berbagai stakeholder merupakan solusi terbaik, ditambah dengan dukungan teknologi ramah lingkungan. 

Bantar gebang merupakan barometer pengelolaan sampah di Indonesia, baik buruknya penanganan sampah disini akan berpengaruh secara nasional dan internasional. Segala upaya membangun citra baik dan mengimplementasikan rencana-rencana yang inovatif, progresif dan adaftif sangat tepat diusahakan. 
Mengelola, sampah yang begitu besar, jelas membutuhkan peraturan, perencanaan, kelembagaan, partisipasi masyarakat, pendanaan dan teknologi. 

Kesemrawutan pengelolaan sampah di tanah air lebih banyak dipicu oleh tidak adanya peraturan berupa undang-undang. Sejak lahirnya UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, disusul PP No. 81/tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah sejenis Rumah Tangga. Ditambah kebijakan dan Perda, sudah tidak ada alasan lain. Bahwa sampah harus diolah dengan sistem 3R. Dalam peraturan bahwa setiap produsen sampah, wajib mengolah sampahnya sendiri. Lembaga atau  perusahaan yang memproduksi sampah lebih banyak diberikan beban lebih besar, dikenal dengan extended producer responsibility (EPR). 

Sejarah pengelolaan sampah yang buruk, menggugah berbagai pihak terutama tokoh dan terutama masyarakat sekitar. Untuk mengubah paradigma pengelolaan sampah di TPA Bantargebang. Masyarakat dan para tokoh sekitar TPA meminta siapapun mengelola TPA harus menggunakan teknologi modern dan ramah lingkungan sesuai dengan amanat UU No. 18/2008. Maksudnya sampah harus diolah dengan tujuan mengurangi volume sampah, dikembalikan menjadi sumberdaya, menjaga lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat.

Menilik pengelolaan TPST Bantar gebang kini, banyak  perubahan dan kemunduran ketika dikelola oleh pemprov DKI Jakarta terlebih diterapkannya sistem swakelola yaitu adanya kebijakan- kebijakan di luar logika. Hal itu disampaikan Sekjen Assosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) M. Hafifi, kepada SNP ketika dimintai tanggapannya. 

Lebih jauh M. Hafifi menyampaikan keheranannya bahwa TPST Bantar gebang seluruh Zona buang telah overlout termasuk ketinggian maksimal yaitu 35 meter sudah seperti gunung. Ini juga membuat armada pengangkut sampah dari DKI Jakarta saat bongkar muat susah dan menimbulkan antrian panjang di kawasan TPST ini, belum lagi kurangnya alat berat yang menunjang kinerja pengelolaan sampah.

Lanjut, Hafifi jika dibandingkan dengan pengelola sebelum diambil alih DKI, pengelola mengoperasikan 54 unit alat berat dalam satu shif kerja. Namun, sejak (20/07/2016) diambil alih Pemprov DKI dengan sistim swakelola dan hanya menurunkan 15 unit alat berat. Artinya Pemprov DKI tidak lebih mengoprasikan kurang dari 30 unit alat berat, belum lagi terkendala kurangnya bahan bakar (BBM) sehingga kinerja kurang maksimal, ujar M Hafifi

Masih kata Hafifi, Seharusnya Pemprov DKI Jakarta berusaha membuat zona buang yang baru mengingat zona buang yang ada semakin krisis, bukan sebaliknya menambah armada penganggkut sampah truss. Memang DKI Jakarta saat ini terlihat bersih, tetapi itu hilir, harus di perhatikan juga wilayah hulu yakni zona buang yaitu TPST Bantar gebang ini, unkapnya 

Selama dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta, TPST Bantar gebang ini tidak lagi menggunakan sistem sanitary landfill. Namun tak ubahnya seperti open damping saja, coba perhatikan sampah hanya ditumpuk ke atas zona yang ketinggian telah melampaui ambang batas yakni 35m, tidak pernah ada penutan tanah sedikitpun. Ini yang sangat dikhawatirkanjika musim hujan rentan dengan lonsor, jika musim panas rentan kebakaran belum lagi bau busuk yang menyengat menyeruak ke pemukiman warga.

Lebih ironis lagi ujar H. Hafifi, oknum pegawai DKI banyak yang menyalahgunakan kewenangannya. salah satu contoh TPST Bantar gebang ini hanya di peruntukan menampung dan mengelola sampah rumah tangga dari DKI Jakarta yang di anggkut oleh truk plat merah  milik pemprov DKI. Sekarang ini mobil plat hitam pun bebas masuk dan buang di TPST ini, termasuk sampah bukan dari DKI Jakarta. Leluasanya truk sampah selain milik DKI, karena punya stiker yang diberikan oleh pengelola di TPST dengan logo Pemprov DKI mereka bebas buang disini

“Aneh, bukan cuma sampah rumah tangga yang masuk ke Bantar gebang, banyak juga limbah industri yang ikut dibuang, disinyalir ada permainan antara si pembuang limbah industi dengan oknum pegawai TPST Bantar gebang, membuat mereka bebas keluar masuk”, tutur Hafifi.

Terkait stiker berlogo Pemprov DKI,  SNP coba mengkonfirmasi mencari tau keabsahan stiker tersebut kepada Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Isnawa Aji, kepada SNP mengatakan, tanyakan saja kepada Kepala UPTD Regionalnya Pak Asep, Ujar Isnawa singkat.
 
Media ini, sebelum bertemu dengan Kepala UPTD Regional, Yusen selaku Humas Dinas Kebersihan DKI mengatakan,biar saya saja yang menanyakannya, ungkap Yusen. Sampai berita ini diturunkan Yusen belum memberikan klarifikasinya. *BEN/Hff

No comments:

Post a Comment