Bekasi, Swaranasionalpos.com
- Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Bantargebang atau lebih
akrab dengan sebutan Tempat
Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Mengalami perubahan yang
signifikan disebabkan adanya perubahan pengolahan dari sistim Open Damping menjadi Sanitary Landfill, dimana amanah UU No. 18 tahun
2008 mengharuskan pengolahan
sampah harus menggunakan teknologi tinggi dan ramah lingkungan.
Semenjak tahun
1999 hingga tahun 2008, pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah Bantar gebang hanya memiliki luas
108 hektar kini menjadi 110,3 hektar. Ini menggambarkan situasi yang kurang peduli terhadap pencemaran dan kondisi
lingkungan. Buruknya
pengelolaan dan kurang kepedulian menjadi ancaman kesehatan. Serta mengabaikan partisipasi masyarakat
sekitar. Menimbulkan adanya
penolakan secara massif dan berujung pada penolakan secara terbuka. Bahkan
lebih parahnya lagi timbul Image
buruk terhadap TPA Bantar gebang.
Berjalannya waktu, pengelolaan sampah era lama mulai berubah
bersamaan dengan tuntutan masyarakat ditambah kebijakan baru. Kemudian lahirlah
Undang-Undang No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang merupakan tonggak
sejarah era baru. Berbarengan dengan itu terjadi pergantian pengelola TPA
Bantar gebang dari yang lama ke otoritas yang baru.
Perubahan kepemimpinan juga memperngaruhi kebijakan pada
pengelolaan TPA, dimana selama ini menjadi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu
(TPST) Bantar gebang menjadi tumpuan
utama Pemerintah DKI
Jakarta untuk membuang sampah.
Karena pilihan alternatif untuk menampung sampah DKI di daerah lain
sulit diwujudkan.
Kondisi akhir 2007 dan awal 2008, TPST Bantar gebang menjadi momok buruk bagi
warga. Maka dicarilah jalan keluar dengan membuat opsi menerapkan prinsip reduce,
reuse, recycle (3R) menuju Recovery
Estate. TPST Bantargebang
sebagai pusat daur ulang, composting,
penelitian, pelatihan, rekreasi, dan lain-lain, banyaknya kegiatan disana maka
dilakukan perluasan lahan, pemanfaatan kembali zona-zona yang sampahnya
mengalami dekomposisi, upaya-upaya pemanfaatan teknologi pengolah sampah, dan
rencana pemanfaatan gas methane (CH4) untuk energi melalui mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism, CDM).
Upaya menangani
persoalan di TPST Bantar gebang dilakukan secara terencana, terpadu dan
bertahap dengan melibatkan berbagai stakeholder
merupakan solusi terbaik, ditambah dengan dukungan teknologi ramah lingkungan.
Bantar gebang
merupakan barometer pengelolaan sampah di Indonesia, baik buruknya penanganan
sampah disini akan berpengaruh secara nasional dan internasional. Segala upaya
membangun citra baik dan mengimplementasikan rencana-rencana yang inovatif,
progresif dan adaftif sangat tepat diusahakan.
Mengelola, sampah
yang begitu besar, jelas membutuhkan peraturan, perencanaan, kelembagaan,
partisipasi masyarakat, pendanaan dan teknologi.
Kesemrawutan pengelolaan sampah di tanah air lebih banyak dipicu oleh tidak adanya peraturan berupa undang-undang. Sejak lahirnya UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, disusul PP No. 81/tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah sejenis Rumah Tangga. Ditambah kebijakan dan Perda, sudah tidak ada alasan lain. Bahwa sampah harus diolah dengan sistem 3R. Dalam peraturan bahwa setiap produsen sampah, wajib mengolah sampahnya sendiri. Lembaga atau perusahaan yang memproduksi sampah lebih banyak diberikan beban lebih besar, dikenal dengan extended producer responsibility (EPR).
Kesemrawutan pengelolaan sampah di tanah air lebih banyak dipicu oleh tidak adanya peraturan berupa undang-undang. Sejak lahirnya UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, disusul PP No. 81/tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah sejenis Rumah Tangga. Ditambah kebijakan dan Perda, sudah tidak ada alasan lain. Bahwa sampah harus diolah dengan sistem 3R. Dalam peraturan bahwa setiap produsen sampah, wajib mengolah sampahnya sendiri. Lembaga atau perusahaan yang memproduksi sampah lebih banyak diberikan beban lebih besar, dikenal dengan extended producer responsibility (EPR).
Sejarah
pengelolaan sampah yang buruk, menggugah berbagai pihak terutama tokoh dan
terutama masyarakat sekitar. Untuk mengubah paradigma pengelolaan sampah di TPA
Bantargebang. Masyarakat dan para tokoh sekitar TPA meminta siapapun
mengelola TPA harus menggunakan teknologi modern dan ramah lingkungan sesuai
dengan amanat UU No. 18/2008. Maksudnya sampah harus diolah dengan tujuan
mengurangi volume sampah, dikembalikan menjadi sumberdaya, menjaga lingkungan
hidup dan kesehatan masyarakat.
Menilik pengelolaan
TPST Bantar gebang kini,
banyak perubahan dan kemunduran ketika
dikelola oleh pemprov DKI Jakarta terlebih diterapkannya sistem swakelola yaitu adanya kebijakan- kebijakan di luar logika. Hal itu disampaikan Sekjen Assosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia
(APPI) M. Hafifi, kepada SNP ketika dimintai tanggapannya.
Lebih jauh M. Hafifi menyampaikan keheranannya bahwa TPST
Bantar gebang seluruh Zona
buang telah overlout termasuk ketinggian maksimal yaitu 35 meter sudah seperti gunung. Ini juga
membuat armada pengangkut sampah dari
DKI Jakarta saat bongkar muat susah dan menimbulkan antrian panjang di kawasan TPST ini, belum lagi kurangnya
alat berat yang menunjang kinerja pengelolaan sampah.
Lanjut, Hafifi jika dibandingkan dengan
pengelola sebelum diambil alih DKI, pengelola mengoperasikan 54 unit alat berat dalam satu shif kerja. Namun, sejak (20/07/2016) diambil alih Pemprov DKI dengan sistim swakelola
dan hanya menurunkan 15 unit alat berat. Artinya Pemprov DKI tidak lebih mengoprasikan
kurang dari 30 unit alat
berat, belum
lagi terkendala kurangnya bahan bakar (BBM) sehingga kinerja kurang maksimal, ujar M
Hafifi
Masih kata
Hafifi, Seharusnya Pemprov DKI Jakarta berusaha membuat zona buang yang baru mengingat zona buang yang ada semakin krisis, bukan sebaliknya
menambah armada penganggkut sampah
truss. Memang DKI Jakarta saat ini terlihat bersih,
tetapi itu hilir, harus di
perhatikan juga wilayah hulu yakni zona buang yaitu TPST Bantar
gebang ini, unkapnya
Selama dikelola
oleh Pemprov DKI Jakarta, TPST Bantar gebang ini tidak lagi menggunakan sistem sanitary
landfill. Namun
tak ubahnya seperti open damping saja, coba perhatikan sampah hanya ditumpuk ke atas zona yang ketinggian telah
melampaui ambang batas yakni 35m, tidak pernah ada
penutan tanah sedikitpun. Ini
yang sangat dikhawatirkanjika
musim hujan rentan dengan lonsor, jika musim panas
rentan kebakaran belum lagi bau busuk yang menyengat menyeruak ke pemukiman
warga.
Lebih ironis lagi
ujar H. Hafifi, oknum pegawai DKI
banyak yang menyalahgunakan kewenangannya. salah satu contoh TPST Bantar gebang ini hanya di peruntukan menampung
dan mengelola sampah rumah tangga dari DKI Jakarta yang di anggkut oleh truk
plat merah milik pemprov DKI.
Sekarang ini mobil plat hitam pun bebas masuk dan buang di TPST ini,
termasuk sampah bukan dari DKI
Jakarta. Leluasanya truk sampah selain milik DKI, karena punya stiker yang diberikan oleh pengelola di
TPST dengan logo Pemprov DKI
mereka bebas buang disini.
“Aneh, bukan cuma sampah rumah tangga yang masuk
ke Bantar gebang, banyak juga limbah
industri yang ikut dibuang,
disinyalir ada permainan antara si
pembuang limbah industi dengan oknum pegawai TPST Bantar gebang, membuat
mereka bebas keluar masuk”, tutur Hafifi.
Terkait stiker
berlogo Pemprov DKI, SNP
coba mengkonfirmasi mencari tau keabsahan stiker tersebut kepada Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Isnawa Aji, kepada SNP mengatakan, tanyakan saja kepada Kepala UPTD Regionalnya Pak Asep, Ujar Isnawa singkat.
Media ini, sebelum
bertemu dengan Kepala UPTD Regional, Yusen selaku
Humas Dinas Kebersihan DKI mengatakan, “biar saya saja yang menanyakannya”, ungkap Yusen. Sampai berita ini diturunkan Yusen belum memberikan klarifikasinya. *BEN/Hff
No comments:
Post a Comment