MEDIA SUARA NASIONAL

RELEVAN - OBJEKTIF - LUGAS

lightblog

Wednesday, November 9, 2016

Prediksi Pilpres AS Terbalik, Ekonomi Dunia Jungkir Balik

Jakarta - Kejutan. Kalimat ini sebenarnya tidak ingin diucapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam meramal hasil perebutan kursi Presiden Amerika Serikat (AS) oleh Hillary Clinton dan Donald Trump.

Dalam benak Darmin, dari sekilas baca-baca hasil survei pilpres AS, Clinton akan menjungkalkan Trump.

"Kita lihat. Seharusnya sih tidak ada surprise. Karena selama ini kerjasama Indonesia dan AS sudah sangat baik, jangan sampai di luar perkiraan yang justru akan mengganggu kerja sama antar kedua negara,” ujar Darmin, dikutif CNN kemarin.

Sayangnya, hasil perhitungan cepat pilpres AS menjungkalkan harapan Darmin dan ribuan pelaku pasar yang mengidamkan stabilitas jika Clinton memenangi perebutan layanan Air Force One.

Pada pukul 10.24 waktu setempat, jagoan Partai Republik Donald Trump justru unggul dari rivalnya asal Partai Demokrat Hillary Clinton.

CNN melaporkan, hingga kini Trump berhasil meraup 167 electoral vote, terpaut 58 poin dari Clinton yang baru mendapatkan 109 suara.

David Sumual, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, mengungkapkan tendensi Trump untuk meningkatkan hambatan perdagangan internasional di Negeri Paman Sam yang disampaikannya sepanjang kampanye, sudah membuat pasar global was-was, termasuk Indonesia.

“Takutnya, kebijakan Trump bakal menghambat perdagangan global dan bisa berpengaruh kepada ekonomi global yang sedang melemah sekarang,” tutur David.

Bagi Indonesia, AS merupakan negara tujuan ekspor terbesar setiap tahunnya. Sebagian besar produk Indonesia yang diminati berasal dari industri manufaktur seperti tekstil dan produk tekstil maupun alas kaki, yang banyak menyerap tenaga kerja.

Tahun lalu, ekspor non minyak dan gas Indonesia ke AS mencapai US$15,3 miliar mengungguli China (US$13,26 miliar), dan Jepang (US$ 13,09 miliar).

Lantas apakah Indonesia perlu panik jika Trump benar-benar dinobatkan sebagai Presiden AS?

David mengibaratkan gejolak pilpres AS bak gejolak saat Inggris menyatakan bakal keluar dari Uni Eropa (Brexit) pertengahan tahun ini.

Jika Trump menang, perekonomian Indonesia tidak bakal serta merta terguncang karena secara fundamental, perekonomian domestik cukup kuat.

“Apalagi cadangan devisa Indonesia tahun ini juga lebih tinggi, inflasi lebih rendah, defisit transaksi berjalan juga rendah. Saya pikir itu jadi modal kita juga untuk menghadapi gejolak seperti ini,” kata David.

Berkah Terselubung

Kepala Ekonomi Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih memiliki pandangan berbeda jika Trump menjadi presiden AS sampai empat tahun ke depan. Menurutnya perekonomian negara berkembang, termasuk Indonesia, bisa diuntungkan.

Sosok Trump yang cukup kontroversial menimbulkan kegalauan pelaku pasar jika ia terpilih. Efeknya, dalam sebulan hingga dua bulan ke depan, investor maupun manajer investasi bakal memilih untuk menempatkan dananya di negara berkembang yang dianggap lebih memberi kepastian dan memberikan tingkat pengembalian (return) tinggi.

“Karena belum tahu kebijakannya Trump bakal seperti apa, mereka lebih memilih negara yang sudah memiliki kepastian lah,” kata Lana.

Tak hanya itu, kemenangan Trump bisa jadi melemahkan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang negara-negara lain di dunia, termasuk Rupiah. Hal ini bisa kembali menjadikan emas sebagai aset aman (safe haven) di mata investor.

Naiknya harga emas biasanya diikuti oleh kenaikan harga komoditas tambang lain. Efeknya, nilai ekspor Indonesia yang berbasis komoditas bisa meningkat setelah dalam dua tahun terakhir keok.

Karenanya, jika Indonesia mampu menjaga kestabilan ekonominya, berkah kemenangan Trump bisa mengkompensasi efek negatif terhadap perekonomian Indonesia.

Selain itu, kemenangan sosok yang tidak menjadi favorit publik juga bisa membuat indeks pasar modal global dan Indeksa Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi. Hal ini bahkan sudah terlihat selama masa keduanya keduanya berlangsung.

Namun, Lana meyakinkan, koreksi hanya akan terjadi sementara karena pasar akan segera merespon untuk melakukan aksi beli.

“Kalaupun turun, katakan indeks kita ke level 5.300 – 5200, banyak ancang-ancang mau beli,” ujarnya.

Sebaliknya, kata Lana, jika Clinton mengungguli Trump respons pasar akan cenderung netral mengingat kemenangan Clinton telah diprediksi. Kalaupun ada penguatan, itu hanya euforia sesaat yang jangka waktunya hanya seminggu.

“Kalau Clinton menang, kami tidak melihat ada perubahan pada pasar. Sudah expected, sudah terfaktorkan,” jelasnya.

Nasib Indonesia di TPP

Mohammad Faisal, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai hasil pilpres AS bakal menentukan nasib Indonesia yang ingin bergabung ke dalam blok Kemitraan Trans Pasifik atau Trans Pasific Partnership (TPP).

Sebelumnya, TPP merupakan blok kemitraan dagang yang telah diratifikasi oleh Australia, Brunei, Chili, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Amerika Serikat dan Vietnam.

Dalam kerangka ini, negara yang tergabung di dalamnya menerapkan perdagangan bebas tarif yang mendorong liberalisasi perdagangan.

Presiden Joko Widodo telah menyatakan minat untuk Indonesia bergabung ke TPP sejak tahun lalu. Jika berhasil masuk ke dalam TPP maka daya saing produk Indonesia di AS akan bertambah atau setidaknya mengimbangi Vietnam yang telah lebih dulu bergabung. Kondisi ini akan menguntungkan bagi Indonesia yang tengah berupaya untuk mendongkrak ekspor yang dalam dua tahun terakhir tumbuh minus.

Jika Clinton terpilih, Faisal tak khawatir mengingat Clinton diyakini bakal melanjutkan kebijakan Barrack Obama.

Sementara, jika Trump menang, AS diyakini akan makin protektif dalam kebijakan perdagangan internasionalnya. Dikhawatirkan, kondisi ini tidak menguntungkan bagi Indonesia yang ingin mendapatkan manfaat dari TPP.

“Kalau Trump menjadi Presiden, ia akan sangat konservatif dan akan melihat kerjasama perdagangan Amerika dengan mitra dagang juga dengan konservatif. Artinya, apakah kerjasama itu akan banyak menguntungkan Amerika atau tidak itu menjadi pertimbangan yang penting bagi seorang Donald Trump,” ujarnya

Mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong pernah mengatakan bahwa Indonesia baru bisa bergabung ke dalam TPP paling cepat tahun 2018. Namun, bukan tidak mungkin, jika Trump menang, Indonesia butuh waktu lebih lama.

Antisipasi Pemerintah

Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai dunia secara global akan susah jika Donald Trump menjadi Presiden AS. Hal ini, sekali lagi terkait dengan kebijakan Trump akan lebih memproteksi Amerika dalam hal perdagangan.

"Kalau Trump, wah, kelihatannya susah itu. Dunia nanti juga jadi susah," kata Jusuf Kalla kemarin.

Namun apapun hasilnya, pemerintah Indonesia menurut JK akan tetap menghormati pilihan warga negara asal Donald Trump. ***

No comments:

Post a Comment