MEDIA SUARA NASIONAL

RELEVAN - OBJEKTIF - LUGAS

lightblog

Tuesday, November 1, 2016

Salah Tata Kelola Pembangunan, Rugikan Masyarakat



Jakarta, SNP - Banjir Bandung yang terjadi pada tanggal 24 hingga 31 Oktober 2016 beberapa waktu lalu bukanlah banjir yang biasa kita sebut sebagai banjir cileuncang atau banjir yang berupa genangan air di suatu tempat karena terhambatnya pembuangan atau aliran tersebut.

Banjir yang terjadi beberapa hari lalu adalah banjir yang merubah beberapa jalanan di Kota Bandung menjadi sungai sehingga menimbulkan kerugian berupa jiwa, harta dan benda.

Melihal hal ini LBH Bandung menyatakan keprihatinan atas peristiwa ini dan menyatakan simpati yang sebesar-besarnya atas korban dan warga Kota Bandung secara keseluruhan. 

Dalam catatan beberapa media tercatat bahwa titik lokasi banjir terparah terjadi di daerah Pasteur, Cikadut, Geger Kalong, Cikadung, dan Antapani. 

Banjir kali ini ternyata bukanlah peristiwa yang pertama kalinya terjadi di Kota Bandung. Tercatat di tahun 2009 banjir terjadi di Kecamatan Arcamanik, Cibeunying Kidul, Cibiru, Mandalajati, Cidadap, Bandung Wetan, Astanaanyar, Bojongloa Kaler, dan Ujung berung bahkan di aliran sungai Cikapundung. Bencana banjir tersebut telah mengakibatkan 292 rumah rusak ringan, 229 rumah rusak sedang, dan 59 rumah rusak berat. 

Di tahun 2010 banjir terjadi Kecamatan Panyileukan, Arcamanik. Sukasari, Ujung berung dan mengakibatkan kerusakan pada 2.495 rumah. 

Di Tahun 2011 banjir terjadi di Kel. Cipadung ( Terendam 33 rumah )dan Kel. Cipadung Kidul Kecamatan Panyileukan ( 836 rumah ). Di tahun yang sama Banjir juga terjadi di  Kel. Maleer Kecamatan Batununggal Korban sebanyak 7 RW (23 Rt), 510 unit rumah, 700 KK (2011).

Bahkan di Pagarsih banjir telah terjadi beberapa kali di tahun 2000, 2003, 2005, 2014. Oleh karena itu banjir besar yang terjadi di beberapa titik di Kota Bandung pada tanggal 24 Oktober 2016 bukanlah bencana alam biasa. Banjir yang terjadi adalah bencana lingkungan yang disebabkan oleh salah urus pembangunan kota yang pola pembangunan tata ruangnya tidak berdasarkan pada daya tampung ruang hidup itu sendiri.

Data RPJMD Kota Bandung 2013-2018, kawasan yang sering terjadi banjir adalah daerah-daerah yang dilewati oleh 5 aliran sungai yaitu aliran sungai Cipaku, Cikapundung, Cibeunying, Cipamokolan, dan Cipadung. Sungai Citepus yang menjadi sumber banjir kali ini tidak termasuk ke dalam rancangan Pemerintah Kota. Padahal sungai citepus adalah sungai yang  masuk kategori pencemaran berat selain sungai Cikiley, Ciparungpung, Cikapundung Kolot, Cikapundung Hilir, dan Cidurian.

Berdasarkan data RPJMD Kota Bandung 2013-2018 daerah Banjir di beberapa titik di atas termasuk ke dalam rencana pembangunan kawasan pemukiman padat. Oleh karenanya pola dalam mengatasi banjir tidak bisa hanya menekankan pada pembangunan trotoar, drainase ataupun pengerukan daerah sempadan sungai. 
Di sisi lain pembangunan infrastruktur beresiko seperti kawasan terbangun di wilayah Kawasan Bandung Utara masih marak terjadi dan pengawasan perizinan di daerah resapan air tidak berjalan sebagaimana mestinya. 

Data lain menurut Walhi Jawa Barat Kawasan Bandung utara seluas 3700 Ha,  80% adalah bangunan beton di ketinggian 750 Mdpl dan Kawasan Strategis Khusus Lindung hanya ada di Babakan siliwangi dan Cikapundung. Masih menurut data Walhi Jawa Barat, ruang terbuka hijau (RTH) pun hanya ada dan tercatat di Bandara Husein dan Pemakaman. 

Menurut Wahi Jabar titik banjir yang menjadi polemik hari ini adalah daerah yang tidak termasuk daerah rawan Banjir di Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah Kota Bandung.

Oleh karena hal hal di atas maka warga harus menuntut kepada Pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk Mengevaluasi rencana detail tata ruang skala besar secara menyeluruh. 
Penegakan aturan peruntukan lahan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan hidup, dan Melakukan pemulihan korban dan ganti rugi baik materill maupun immateril yang disebabkan bencana lingkungan secara keseluruhan.  (*)

No comments:

Post a Comment